Aku tak pernah mengerti
terbuat dari apa hatimu sahabat? Mengapa kamu tak pernah melawan atau balik
menghina orang-orang yang meremehkanmu? Saat aku, Kak Harry dan Kak Dani
habis-habisan menyerang orang yang merendahkan cita-citamu di jejaring sosial
kamu malah tersenyum dan menyuruh kami membiarkan orang itu juga memaafkannya
tanpa syarat. Kamu malah berterima kasih pada orang itu karena sudah
menyadarkanmu untuk berlari menemui mimpimu. Saat tetanggamu menyindirmu dan
mengatakan bahwa mustahil kamu bisa masuk ke Institut impianmu tanpa uang
puluhan juta mengucur dari balik sakumu. Kamu cuma berkata, terima kasih atas
informasinya. Kapan sih kamu bisa marah dan mengeluarkan emosi secara baik
seperi kami para sahabatmu? Bahkan sampai ketika aku dan dua orang sahabatmu mulai
dilanda demm seleksi universitas, kamu masih santai tak tergoda untuk mengikuti
jejak kami mendaftar di setiap universitas dengan jurusan berbeda. Kami sudah
habis-habisan membujukmu untuk memiliki pilihan kedua atau ketiga kau malah
menertawai kami. Menurutmu kami bertiga sudah mirip kelinci-kelinci yang
merelakan dirinya dijadikan percobaan
oleh para ilmuwan. Kami bertiga sudah tak tahu lagi apa yang mesti kami lakukan
padamu? Karena kami khawatir kau akan terjatuh saat meniti tangga mimpi dan tak
mampu bangun lagi untuk kembali mendaki.
*******
Hari
ini pendaftaran SNMPTN mulai dibuka tapi sayang aku tak melihat Arip di kelas
kemana ya dia? Atu sudah daftar duluan ke ruang BK? Lalu bergegas aku ke ruang
BK mungkin Arip, Kak Harry dan Kak Dani ada di sana ikut mengantri bersama
siswa kelas XII lainnya menunggu giliran untuk mengisi formulir. Tapi di sana
hanya ada Kak Harry.
“Kak,
mana Arip sama Kak Dani?”
“Bukannya
Arip sama kamu Nis? Tadi pagi dia telpon ke aku, katanya mau berangkat sekolah
bareng kamu. Kalo Dani sih dia ijin mau ngurusin pendaftaran di univeritas
swasta yang ada di Bandung katanya.”
“Hah?Nisa
ke sekolah dianterin papa gak sama Arip lagian tadi pagi aku nelpon Arip,
nomornya lagi gak aktif.”
“Aneh
bener itu anak, gak biasanya. Ya udah tungguin aja siapa tahu dia lagi di
jalan. Kalau sampai siang dia gak ada baru kita telpon lagi.”
“Kita
samperin aja ke rumahnya.” Usulku.
“Oke
baiklah daripada kita penasaran. Kupikir ada hal yang dia sembunyikan dari kita
bertiga selama beberapa hari ini.”
Sampai
siang aku masih menunggu Arip. Kursi di sampingku tetap kosong, pemiliknya tak
menampakkan batang hidungnya. Apa mungkin dia sakit? Penasaran kubuka buku
agenda kelas. Ternyata ada sebuah surat dan aku kenal tulisan di suart itu,
miri dengan tulisan ibunya Arip. Ternyata itu adalah surat ijin. Aneh baru kali
ini dia ijin tanpa ngasih atu kabar ke kami bertiga.
Aku
sudah tak sabar menunggu bel pulang berbunyi untuk mengonfirmasi keberadaan
Arip saat ini. Buak apa-apa, aku dan Kak Harry khawatir padanya. Sudah 5 tahun
kami bersahabat, tepatnya sejak kelas 2 SMP. Jadi bisa dibilang kami berempat
sudah saling athu apa kelemahan, kelebihan masing-masing. Dan Arip terutama,
dia adalah yang paling santai di antara kami berempat namun dia juga yang
paling ngotot. Jika dia sudah memiliki keinginan terhadap suatu hal maka dia
akan berusaha meraih hal itu tanpa mempedulikan kondisi kesehatannya. Padahal dia
hanya hidup mengandalkan satu ginjalnya. Ya dia memang memiliki suatu penyakit
yang bersarang ditubuhnya sejak dua tahun yang lalu. Sebelah ginjalnya sudah
tidak berfungsi lagi dan 6 bulan yang lalu dokter menyarankan Arip untuk
melakukan transplantasi ginjal, karena ginjalnya yang satu lagi tak bisa
bekerja maksimal dan berakibat pada diri
Arip.
Aku
masih ingat 3 bulan yang lalu saat kami sedang sibuk mengikuti bimbingan untuk
mengikuti lomba karya tulis ilmiah remaja berkelompok. Dia yang paling
bersemangat mengikuti lomba itu. Pulang sore bahkan hampir pukul 6 sore ketika
kami berempat keluar dari gerbang sekolah. Cuma dia yang masih bisa
tertawa-tawa dan bersemangat padahal aku, Kak Harry, dan Kak Dani sudah
kelaparan dan membayangkan betapa menyenangkannya jika dapat sampai di rumah
sesegera mungkin. Tapi ada satu hal tentang dia yang luput dari perhatian kami.
Makanannya. Arip memang bisa memakan apapun dengan lahap tak peduli apakah itu
junk food ataupun bukan. Dia memang tak bisa memakan junk food dan makanan
insan sesering kami bertiga karena ginjalnya tak seperti ginjal kami. Namun
karena dia tak menyukai adanya perbedaan dan perhatian khusus maka dia sering
memaksa ikut makan makanan instan ketika kami terpaksa makan makanan itu di
dekatnya. Maka ketika observasi dan karya ilmiah kami sudah berikan ke pihak
sekolah untuk dikirim pada penyelenggara esoknya kami mendapat berita
mengejutkan, Arip dirawat di rumah sakit. Ternyata selama kami mengerjakan
proyek tersebut Arip sering makan mie insatan tanpa sepengetahuan kami. Aku
masih ingat wajahnya pucat badannya agak lebam. Untung saja waktu itu dia hanya
3 hari berada di rumah sakit, dan hebatnya yang tahu dia dirawat di rumah sakit
hanya kami bertiga di kelas. Dia tak ingin orang lain mengetahui keadaan dia
yang sebenarnya. Semua orang di sekolah mengenalnya sebagai Zain Aripin Malik,
siswa rajin penuh semangat dan jarang sekali terlihat lelah atau mengantuk di
kelas seperti yang kadang kami lakukan di kelas jika pelajaran terasa
membosankan. Aku ingat waktu itu aku mengantuk sekali saat pelajaran fisika dan
dia memergokiku, “Nisa, bangun! Jangan tidur di kelas, kasihan orangtuamu udah
bayar SPP mahal tapi anaknya malah tidur di kelas.” Dia mengatakannya dengan
nada yang biasa tapi apa yang dia katakan sudah cukup membuat mataku untuk
membuka kembali dengan sadar. Dia memang sangat peduli pada orangtuanya.
Ternyata
cukup lama juga aku memikirkan sahabatku yang satu ini, hingga tanpa sadar Kak
Harry sudah berada di depanku. “Hooi jangan ngelamun terus! Katanya mau ke
rumah Arip. Yuk cepetan mumpung belum hujan.” Kak Harry ternyata memang benar
meu mengajakku berkunjung ke rumah Arip. Memang kami sudah sering kumpul berang
di rumah Arip karena rumahnya yang paling menyenangkan karena tidak terletak di
pusat kota sehingga jika kami butuh ketenangan kami pasti datang ke rumah Arip.
Namun kali ini aku dan Kak Harry ke sana denga sejuta tanda tanya. Dan tanda
tanya itu mulai terjawab ketika kami bertemu dengan adiknya Arip.
“Kak
Nisa, Kak Harry mau ngapain ke sini? Kak Zainnya juga lagi gak ada di rumah.”
Ujar Fino adik Arip yang berusia 12
tahun. Dia memang memanggil Kakaknya dengan nama depannya, Zain.
“Memangnya
Kak Zain lagi ke mana? Atau lagi ada acara keluarga ya? Kok kamu gak ikut?”
Ujar Kak Harry ikut-ikutan manggil Zain.
“Kakak
tadi malam berangkat ke Bandung. Dia nitip pesan sama aku katanya kalau Kak
Harry, Kak Nisa sama Kak Dani nanyain bilangin Kak Zain minta maaf gak sempat
bilang sama Kakak bertiga.”
“Memangnya
Kakakmu ngapain ke Bandung mendadak?”
“Kata
Kak Zain mau daftar di universitas, tadi malam dia cerita katanya pendaftaran
beasiswa penuh jalur mandiri sudah dibuka sejak seminggu yang lalu dan ditutup
besok makanya Kakak tadi malam langsung berangkat ke Bandung. Oh ya Kakak nitip
surat buat Kak Harry sama Kak Nisa.”
Ya
ampun ternyata ini yang dikejar Arip hingga rela bolos sekolah. Beasiswa. Tak
lama kemudian Fino kembali dengan membawa sepucuk surat yang dia serahkan
kepada Kak Harry. Ternyata benar itu adalah surat darinya.
Buat Nisa, Harry dan Dani. Maaf
kalau aku tidak sempat pamit pada kalian. Jangan khawatir aku hanya dua hari di
Bandung. Seperti biasa jangan bilang siapapun aku melakukan ini, kecuali jika
aku berhasil mendapatkan beasiswa itu.
Kalau guru-guru atau teman-teman menanyakan keberadaanku bilang saja
kalau aku sedang ada acara keluarga di luar kota. Beasiswa ini bakal ku kejar
sampai dapat mungkin bidik misi bakal ku lepaskan. Aku ingin berbuat lebih
dibanding dengan yang dilakukan teman-teman kita sesama pengejar beasiswa di
sekolah, makanya aku bakal berusaha. Do’akan aku kawan, aku sayang kalian
semua.
Zain
Aripin Malik
Beasiswa macam apa sih yang dia
kejar saat ini? Mengapa malah melepaskan bidik misi yang sudah jelas di depan
mata? Sepertinya Kak Harry pun memiliki pikiran yang sma denganku.
“Nisa, perasaan gak ada beasiswa
jalur mandiri ya?”
“Iya
kak aku juga baru tahu ada beasiswa semacam itu. Atau mungkin itu program baru
kak?
Dua hari kemudian. Arip menepati
janjinya, dia kembali sekolah. Dan seolah tahu sahabat-sahabatnya hendak
mengintrogasi dia pun memanggil kami bertiga. Ternyata beasiswa yang dia incar
memang bukan beasiswa biasa. Itu adalah sebuah penuh yang disediakan oleh
pemerintah negra Inggris. Basiswa itu disediakan untuk 10 orang siswa. Dan
nantinya ke sepuluh orang it akan ditempatkan di tiga universitas di Inggris.
Dia memang sudah lama ingin pergi ke luar negeri dan dia pikir inilah saat yang
tepat baginya untuk membuktikan pada semua orang bahwa tanpa uang yang banyak
pun dia bisa pergi ke luar negeri dan mengenyam pendidikan di negra maju.
Ternyata kemarin dia pergi ke Bandung hanya untuk mendaftar dan tes penerimaan
sendiri dilakukan di kantor dinas pendidikan setiap kota. Menurutnya memang
bukan hal yang mudah untuk melewati ke 5 tahapan tes tersebut apalagi pada
tahap ketiga di mana dia harus menampilkan kesenia khas daerah masing-masing
dan seleksi ke lima adalah puncak dari segalanya. Tahap yang ditakuti Arip
karena setiap calon penerima beasiswa akan diwawancara secara langsung oleh
duta besar Inggris untuk Indonesia dan wawancara itu dilakukan di Jakarta.
Walaupun dia pintar dan cerdan namun satu hal, kemampun berbahasa Inggrisnya
tidak selancar dan sebagus kami bertiga.
“Tenang saja sob, bahasa Inggris
gampang kok. Kita semua bakal bantuin kamu. Oke mulai besok setiap kamu ada
waktu kita bakal melatih dan membntumu meningkatkan kemampuan berbahasamu itu.
Setidaknya walau gak fasih kamu bisa berbicara dan memahami apa yang diucapka
orang lain.” Kata Kak Harry.
Esoknya Arip sudah mulai sibuk dengan
segala seleksi dan persyaratan yang harus dia penuhi untuk mengikuti beasiswa
tersebut. Sepertinya seleksi yang diadakan selama seminggu tersebut menguras
habis energinya. Hal itu terlihat saat kami berempat sedang berkumpul di dekat
lapangan basket ketika Arip memberitahu kami semua bahwa dia lolos ke seleksi
tahap terakhir. Ditunjukkannya surat undangan untuk megikuti wawancara di
Bandung. Wawancara yang akan diadakn sehari setelah seleksi tahap ke empat
diumumkan. Itu artinya Arip harus segera berangkat ke Bandung malam ini juga.
“Hebat kau kawan, tak akan ada yang
menyangka kamu berani bertindak sejauh ini.”
“Aku berani melakukan ini karena aku
ingin perubahan. Biar saja ibuku tukang jahit dan ayahku pedagang eceran tapi
aku harus bisa menjadi manusia yang lebih dari kedua orangtuaku. Aku ingin
menaikkan derajat kedua orangtuaku di mata masyarakat. Aku tak mau lagi ada
yang menganggap aku bisa sekolah di sini hanya karena belas kasihan pihak
sekolah, namun karena aku memang pantas berada di sini.” Kmi yang menjadi
pendengar setia, semakin kagum dengan keteguhan hati sahabat kami.
“Kita selalu mendukung dan berdo’a
untukmu sahabatku, saudaraku. Tapi satu hal yang perlu kau ingat jangan porsir
tubuhmu dan kembali melakukan hal konyol dengan bertahan hidup memakan junk
food. Kita gak mau lihat saudara kita terbaring lagi di rumah sakit dengan
selang infus yang menakutkan.” Ujar Kak Dani disambut senyuman oleh Arip.
“Tenang saja aku gak bakal seperti
itu lagi. Aku bakal berusaha, lagian siapa sih yang mau diomeli oleh adik kita
yang satu ini, dengan segala teori hidup sehat yang selau dia ajarkan padaku
padahal dia sendiri gemar makan junk food dan makanan instan.” Ujara Arip
melirik ke arahku dan disambut gelak tawa yang lainnya.
*******
Sudah empat hari sejak kepergian
Arip ke Bandung tapi di belum juga kembali ke sekolah. Dan hari ini datang
surat keterangan sakit disertai surat dokter. Disusul satu pesan singkat yang
datang dari Fino saat aku sedang bersama Kak Harry dan Kak Dani.
Kak
Zain masuk rumah sakit semalam. Penyakitnya kambuh. Dan sejak semalam dia terus
menanyakan kalian bertiga. Kumohon kakak semua datang RSUD. Kak Zain
membutuhkan kalian bersamanya.Fino.
“Astagfirulloh, sudah kuduga dia
bakal seperti ini lagi.” Ujar Kak Dani.
Akhirnya kami bertiga memutuskan
untuk pulang sebelum jam pelajaran berakhir dan segera menuju RSUD. Untung sja
piket hari itu adalah guru BK. Satu- satunya guru yang tahu keadaan Arip,
itupun seminggu lalu saat kami dipaksa bercerita oleh beliau. Aku tak kuasa menhan
air mata lagi saat melihat sahabat sekaligus sosok kakak bagiku terabring tak
berdaya di ranjang rumah sakit. Tubuhnya dipenuhu berbagai jenis selang. Lebih
lebam dari tiga bulan yang lalu. Dan ketika kami bertanya keadaan yang
sebenarnya pada ayahnya berita mengejutkan itu datang. Arip harus segera
mendapat ginjal baru dalam tiga hari ini kalau tidak nyawanya tidak akan
tertolong lagi. Gila saja, memangnya semudah itu menemukan ginjal yang cocok?
Keterlaluan! Hidup Arip hanya tergantung pada apa yang terjadi dalam jangka
waktu tiga hari ini.
Ginjal ayahnya memang cocok namun
tak bisa didonorkan karena ayahnya pun hanya memiliki satu ginjal yang
berfungsi sedangkan ginjal milik ibu dan adiknya tak cocok. Pihak rumah sakit
pun sedang berusaha mencari ginjal yang cocok untuk Arip dan sudah mulai
memeriksa sanak saudaranya yang lain untuk menemukan satu ginjal tersebut.
Namun rupanya nasib baik belum berpihak pada Arip dan kami semua.
“Aku gak mau lagi kehilangan seorang
adik. Sudah cukup aku kehilangan satu-satunya adik kandungku 5 tahun lalau. Aku
tidak mau Arip meninggalkan kita untuk selamanya. Baiklah aku akan berbagi
kehidupan dengan Arip. Gak apa-apa aku jidup denga satu ginjal yang penting dia
tetap hidup.” Tiba-tiba suara Kak Harry dengan mata yang berkaca-kaca
mengejutkanku.
“Maksudnya?” Tanya Kak Dani.
“Aku bakal membeikan satu ginjalku
untk Arip asla dia bisa kembali ke kehidpan ini.”
“Kau pikir aku akan membiarkanmu
bertindak sendiian? Aku juga akan mengikuti tes itu. Buat jaga-jaga kalau ginjalmu
tak cocok.”
“Nisa juga kak. Nisa gak mau
kehilangan satupun kakak Nisa.” Ujarku mengejutkan mereka berdua mereka
“Lalu bagaimana dengan orangtuamu?”
“Mereka sudah merestui keinginanku
itu.”
Lalu mulailah saat menegangkan itu
kami bertiga diperiksa kesehatan dan kecocokan ginjal. Ternyata ginjalku dan
ginjal Kak Harry yang cocok. Namun dokter memutuskan ginjal Kak Harry yang
dipakai. Operasipun segera dilaksanakan. Kami berdua dan keluarga Arip menunggu
dengan penuh kecemasan di luar pintu ruang operasi. 7 jam kemudian operasi
selesai dan kami sudah diijinkan melihat kondisi mereka berdua. Rupanya Kak
Harry sudah sadar, dan Arip mulai sadar.
“Lho, Kak Harry kok kamu ada di
sini?” Arip kaget melihat Kak Harry ikutan terbaring di rumah sakit.
“Gak apa-apa kali nememin adikku
yang senang dengan segala kenekadannya sampai gak inget sama ginjal di
ubuhnya.” Ujar Kak Harry sambil tersenyum.
“Woy Rip jaga tuh ginjalmu yang baru
pemberian istimewa dari kakak sulung kita Bang Harry.” UjarKak Dani.
“Jadi ini ginjalmu kak? Knapa kamu
malah memberikannya padaku?”
“Santai saja aku masih bisa bertahan
hidup, yang penting kita sama-sama hidup. Aku gak mau ditinggalin sama kalian
bertiga sob.”
Saat kami sedang berbincang hangat
ada sms masuk ke ponselku dari guru BK.
Anisa
tolong sampaikan pada Arip tadi saya menerima surat dari Kedubes Inggris.
Permohonan beasiswanya diterima dan dia ditempatkan di Universitas Cambridge
fakultas teknik.
Segera kubacakan pesan itu agar
semua yang ada bisa mengetahuinya. Arip
langsung berucap syukur. Kami bahagia apa yang dia perjuangkan selama ini hingga
terbaring lelah di rumah sakit tak sia-sia. Selamat kakak kami bangga padamu.