Assalamualaikum.
Setelah sekian lama menghilang dan nyoba posting di wordpress akhirnya posting juga di blog ini.
Sebenarnya ini bukan cerita baru. Cerita ini pernah aku ikutkan lomba, yang aku publikasikan ini ada sedikit pengubahan. Please enjoy this story hihihihi.
Ada beberapa hal di dunia ini yang kadang jika dilihat dari satu
sudut pandang mungkin orang akan berkata, betapa mengenaskannya hidup
seseorang tersebut namun jika dilihat dari sudut pandang lain orang juga
mungkin untuk mengatakan mengapa dia tidak menyerah saja? Untuk apa
bersusah-susah melewati sesuatu hal yang memiliki peluang keberhasilan
paling besar hanya 25 dari 100. Namun, beberapa orang ebih pemilih untuk
melakukannya. Mereka yang dipilih dan memilih dirinya sedniri untuk
melakukan itu.
Kadang aneh memang mengapa kebanyakan yang berani mengambil 25%
keberhasilan itu kebanyakan hanya mereka yang seringkali entah beberapa
kali sebelumnya pernah mengalami sesuatu yang hanya memiliki dua
kemungkinan yaitu lulus dengan tegar atau kalah dengan pemikiran negatif
dan trauma yang tetap menghantuinya. Tidak adil memang tapi inilah hidup
dengan segala skenario yang telah disiapkan Maha Pencipta. Mau protes
sama siapa? Protes sama Tuhan? Memangnya siapa kamu, berani menyalahkan
dia yang maha segalanya,sementara dibandingkan semesta ini kamu hanya
butiran debu dan satu dari milyaran aktor di muka Bumi ini. Skenario
awal ceritanya sudah ada tergantung bagaimana kamu menjalankan peranmu,
jadi pemeran utama yang tangguh atau sekedar pecundang yang tak berani
menghadapi masalah dan problematika hidup.
Ya ini tentang seorang aktor kehidupan yang harus melakoni skenario
dengan jalan cerita tidak terlalu bagus hmm, bukan tebih tepatnya
skenario yang entahlah akupun bingung mengatakannya dalam satu kata
terlalu rumit. Cerita anak manusia yang memang ada di luar sana mungkin
jarang disadari oleh mereka yang terlanjur bahagia dengan skenario
indah.
Sebut saja dia Abhipraya, seperti yang dia katakan padaku saat aku
bercakap-cakap dengannya beberapa waktu lalu. Mulanya hanya
kalimat-kalimat biasa hingga dia mengatakan semuanya. Saat itu dia masih
berusia sekita 16 tahun, seorang remaja yang baru merasakan putih abu.
Masa-masa yang seharusnya terasa indah dan penuh kenangan. Tapi tidak
bagi Abhipraya. Dia bilang kepadaku, sebenarnya dia sudah tahu bapaknya
tak mengizinkan ibunya untuk kembali melintasi angkasa kembali ke negeri
sebrang, mengais rezeki demi mencari secercah kehidupan yang menurutnya
akan menjadi lebih baik. Sang ibu berontak dia tak mau hanya diam tanpa
bisa melakukan apapun. Mulanya semua baik-baik saja perlahan bapaknya
menerima kenyataan bahwa sang istri pergi untuk membantunya. Hingga
sebulan sebelum kepulangan sang istri dari tanah sebrang, dia
mendengarnya sendiri pengakuan dari mulut lelaki yang menjadikannya ada
di dunia ini. “Maafkan bapak nak, bapak tak bisa menahan lagi. Bapak
sekarang punya wanita lain selain ibumu.” Awalnya dia tak bisa mencerna
semua itu sampai dia sadar bapaknya sudah nikah lagi dengan wanita lain.
Bukan, bukan perasaannya yang saat itu hancur, tapi suatu bagian dari
otaknya yang membuatnya berpikir dan merasakan bagaimana perasaan ibunya
mengetahui hal ini. Berbagai hal sudah berkecamuk di hatinya.
“Wanita mana yang tidak hancur lebur hatinya melihat dan mengetahui
pria yang selama ini mengarungi lautan kehidupan bersamanya lantas
memasukkan wanita lain ke dalam kehidupan mereka? Aku memang laki-laki
tapi aku paham. Aku tahu perasaan ibu waktu itu seperti apa hancurnya
tapi saat itu dia memilih untuk mengikhlaskan pria yang dicintainya
untuk wanita lain dan memilih pergi. Malah aku yang tak terima dengan
hal itu jika saja waktu itu ibu mengizinkanku memarahi bapak. Sayangnya
ibu bukan wanita seperti itu.” Katanya padaku. Bahkan akupun baru tahu
pil pahit yang harus dia telan beberapa tahun lalu itu.
“Orangtuaku bercerai titik keputusan akhir yang tak bisa diganggu
gugat. Dunia terasa runtuh untuk pertama kalinya aku. Rasanya saat itu
aku ingin pergi ke tengah rel kereta api berteriak sekencang mungkin
saat kereta datang di hadapanku. Tak ada lagi tempat untuk pulang yang
utuh sandaran itu telah terbelah terpecah. Tidak ada lagi dermaga
tempatku melabuhkan penat dan cerita. Hancur lebur. Aku benar-benar
hampir kacau saat itu. Buat apa sekolah? Jadi anak baik ya? Untung tak
sampai terpikir di kepalaku obat-obatan terlarang itu. Tuhan masih
sayang padaku. Tuhan mengirimkan mereka, mengirimkan kalian. Aku bukan
satu-satunya di dunia ini yang mengalami hal ini. Masih ada orang di
luar sana yang lebih buruk nasibnya. Sampai yang paling kuingat saat itu
ada seorang kawanku berkata. Hei bukan hanya kamu yang seperti ini,
kamu tidak sendirian. Ceritaku memiliki tema yang sama denganmu, ayahku
pergi gak tahu ke mana tapi aku masih baik-baik saja sampai sekarang.
Terserah kamu sih mau jadi hancur, terpuruk dan berujung gak dapat
apa-apa atau memilih jalan yang lebih baik. Begitulah katanya kawanku
itu. Perlahan aku sadar itu adalah batu yang menyandungku bukan untuk
menghentikanku. Masih ada harapan banyak harapan. Aku tak mau
menampilkan sisi lainku yang lemah, biar ada sisi lemah itu tak boleh
aku perlihatkan. Aku harus melanjutkan hidup. Aku bisa. Aku pasti kuat.
Aku masih punya satu dermaga walau bukan dermaga seperti orangtuaku.
Dermaga yang berbeda ya kalian kawan yang menjadi keluargaku bukan
sekedar kawan.”
Saat itu aku termenung, memang benar bahkan bila tak tahu benar dia
kelihatan kuat, bisa menyimpan rapi kepahitan itu. Berusaha kuat
menyimpannya di tumpukan paling bawah. Sulit dia bilang untuk
mengenyahkan kenangan buruk itu dari dirinya. Tapi bukan artinya harus
dibagi dan diberitahu pada setiap orang. Sesungguhnya dialah motivator
itu yang berusaha tetap berdiri, bangkit perlahan dan tetap berjalan.
Ketika kawan-kawan yang lain terjatuh, sakit atau hal buruk apa yang
menimpa kawan-kawannya dia sigap menghibur, berusaha membantu. Dia
seperti harapan yang selalu berusaha menyala menerangi sekelilingnya.
Sayang, skenario bagus nampaknya belum diraih sepenuhnya oleh
Abhipraya. Masih ada gelombang besar yang siap menghantam perahunya.
Tidak sebesar gelombang yang waktu itu tapi ini tentang harapannya,
keinginan yang sudah lama dia tulis tebal, besar dan jelas dalam daftar
mimpinya. Bagi remaja-remaja lain seusianya urusan itu hanya berhubungan
dengan bagaimana caranya kamu bisa mendapatkan jatah satu kursi di
jurusan serta perguruan tinggi yang kamu inginkan. Urusan biaya? Oh itu
urusan orangtua. Kamu cuma perlu duduk manis di dalam kelas. Urusan
orangtua, kecuali buat segolongan orang termasuk Abhipraya.
Haruskah aku melibatkan orangtuaku, untuk sesuatu hal di luar
kemampuan mereka? Membuat mereka sedih karena sesuatu yang muluk. Cukup
doa dan restu itu lebih berharga buatku aku yakin dengan kekuatan doa
mereka yang membuatku terlahir di dunia ini jika ada orang yang bertanya
padanya kenapa kamu memikirkan biaya kuliah anak muda. Dia memang
menjalani semuanya dengan optimis, usaha yang lebih apalagi dibanding
dengan diriku. Tapi ingat usaha lebih bukan jaminan skenario yang kamu
dapat adalah skenario bagus seperti yang kamu mimpikan.
Lembar demi lembar soal yang berusaha dia isi dengan jawaban terbaik,
dengan doa yang selalu teruntai pada setiap soal yang dia isi. Tapi
kami terpaksa harus pergi lebih dulu meningggalkan Abhipraya walau kami
berusaha menghiburnya dan tak nampak kesedihan mendalam dalam raut
wajahnya. Ah dia kan memang pintar berakting seolah semuanya baik-baik
saja. Pintar melakonkan salah satu sisi dalam dirinya dan menyembunyikan
sisi kelamnya, di mana mungkin di situ ada kesedihan, kekesalan dan
kesepian serta penantian yang menyatu jadi satu.
Badai kedua itu datang saat kawan-kawannya pergi meninggalkan kota
kecil itu menuju tempat mereka mencari ilmu. Abhipraya? Dia masih ada di
kota kecil itu. Semua mengira ombak besar itu meruntuhkan harapannya
nyatanya? Dia masih kokoh. “Masih ada tahun depan, satu tahun buat
belajar masa tidak cukup. Sini, berikan buku-buku soal kalian buat tes
masuk. Daripada sesak di kamar kalian, dengan senang hati aku akan
menampungnya di kamarku.” Dia masih bisa tertawa saat itu. Malah
membesarkan hati golongan remaja menuju dewasa yang tak pernah jauh dari
orang tua dan hampir selama 365 tak pernah jauh dari rumah, dengan
berat hati menempati kota baru yang jauh dari rumah demi masa depan.
Meskipun lembar demi lembar soal telah berusaha dia isi dengan
jawaban terbaik, dengan doa yang selalu teruntai pada setiap soal yang
dia isi. Tapi kami terpaksa harus pergi lebih dulu meningggalkan
Abhipraya walau kami berusaha menghiburnya dan tak nampak kesedihan
mendalam dalam raut wajahnya. Ah dia kan memang pintar berakting seolah
semuanya baik-baik saja. Pintar melakonkan salah satu sisi dalam dirinya
dan menyembunyikan sisi kelamnya, di mana mungkin di situ ada
kesedihan, kekesalan dan kesepian serta penantian yang menyatu jadi
satu.
Setahun berlalu, seolah waktu berjalan terasa begitu cepat. Abhipraya
siap dengan segala senjata barunya yang telah diasah tajam untuk
kembali ke medan perang. Kali ini dia telah mengorbankan sebuah
cita-citanya duduk di salah satu kursi kelas tempat para diplomat
perwakilan bangsa belajar. Aku masih ingat kala itu dia sempat berkata
padaku ditelpon “Tak apa, bantu doa ya untuk yang terbaik.”
Aneh memang dia yang berperang, kami kawan-kawannya yang merasa
cemas, gugup tak karuan yang bahkan ujian hampir setiap bulanpun tak
pernah segugup ketika dia kembali ke medan perang tempat perebutan satu
kursi. Lebih aneh, perang usai tersirat sedikit nada pesimis dalam
dirinya. Nada yang cukup jarang terdengar dari mulutnya. Kami paham tak
ada yang bisa meredakan kecemasan yang mulai tumbuh itu, hanya bisa
berusaha berada di sampingnya walau pun itu ku pikir sama dengan duduk
diam. Namun bisa apa saat itu? Cuma bisa satu hal, menunggu hasil
pengumuman tes.
Hari besar itu tiba, kami menunggu kedatangannya sore itu. Berkumpul
bersama kami dan membagi kabar baik. Dia datang sore itu, dengan muka
kuyu, lesu, lengkap dengan kantong mata dan tanpa senyuman sedikit pun.
Aku tahu, kami tahu jawabannya apa. Kata tidak untuk kedua kalinya.
Tamat sudah sepertinya, harapan yang perlahan padam. Dia pulang bahkan
sebelum kami sempat berkata-kata. Mengatakan akan pergi dari kota ini
melupakan mimpinya, melupakan satu kursi itu.
Hari itu benar-benar kepanikan, kebingungan yang ada. Semua mencoba
mencari di mana ada satu kursi yang tersedia. Satu kursi tanpa
membuatnya meminta hal yang tak ingin dia minta pada orang tuanya.
Sepanjang sore itu kami hanya mencari dan mencari. Sampai menemukan
beberapa harapan. Meski bukan di universitas yang dia inginkan toh bukan
perkara lagi sekarang. Yang penting menyalakan kembali harapan itu.
Malam kami kirimselebaran formulir-formulir itu padanya. Memintanya
mengisi formulir itu. Cuma ada kata terimakasih singkat. Dihubungi
ditelpon dicari hilang tak memberi kabar. Sampai aku dan yang lain, kami
semua pergi dari kota kecil itu. Apa mungkin dia tak kuat menahan
amukan badai kali ini? Lalu mengapa ketika dulu badai pertama dia kuat?
Mencari tahu orang yang tak ingin ditemukan sepertinya hal yang percuma,
sudah tak ingin ditemuukan kehilangan harapan pula. Ingin rasanya
membiarkan tapi tak bisa bagaimanapun kami sudah seperti keluarga.
Biarkan saja Abhipraya menemukan jalannya sendiri, tidak usah dipaksa
tak akan baik nantinya. Seolah kita yang memaksa dia tetap bertahan
mendapat kursi saat ini juga. Dia juga tetap manusia biasa yang memiliki
sisi lain yang kadang sisi lain itu tak ingin diketahui oleh orang
lain. Tersimpan rapat dalam lubuk hatinya. Kita, jadi sahabat hanya bisa
membantunya menuntun menemukan kembali jalan dan kalau tak bisa
menuntun langsung, doakanlah dia kembali menemukan jalannya yang
terbaik. Pada akhirnya itulah kalimat yang terlontar dari mulut salah
seorang sahabat kami saat Abhipraya masih entah di mana, mungkin di kota
A daerah B atau di rimba raya yang tak terlihat pada peta dunia.
Semua berlalu tanpa kabar, sampai malam itu tiba-tiba sebuah SMS
masuk. ‘Doakan aku ya besok pengumuman tes beasiswa aku sudah diterima
sudah dapat kursi.’ Abhipraya setelah berhari-hari tanpa kabar tiba-tiba
datang dengan kabar itu. Ingin rasanya berteriak di depan wajahnya,
meluapkan segala kekesalan gara-gara bocah itu. Tapi aku lega sungguh,
dan ketika pada akhirnya kami bertemu kembali pertanyaan itu terlontar
dari bibirku. “Hei Abhipraya masih berani bilang aku punya harapan?”
“Berani siapa takut ya setelah ku pikir-pikir aku masih mau bersaing
dengan kalian bermimpi bersama-sama. Maaf saat itu aku memang hampir
kehilangan harapan tapi malam ketika kalian memberiku formulir-formulir
aku sadar satu hal masih ada yang peduli padaku. Aku tidak sendirian ada
kalian yang mau membantuku berdiri dan berjalan lagi. Walaupun aku
butuh waktu untuk berdamai dengan sisi lain diriku yang kadang
menyuruhku berhenti. Tapi aku tidak mau berhenti, terus melangkah meski
hidup tak mudah. Karena semua boleh bermimpi kan? Dan itu hak semua
orang termasuk aku termasuk kalian semua.” Seperti kata Abhipraya
bermimpilah dan berharap sepuasmu biar ketika satu mimpi dan harapanmu
tak bisa kau jadikan nyata masih ada semilyar harapan lain yang berusaha
membangkitkanmu. Karena seburuknya skenario itu pasti ada jalan cerita
yang indah, kapan terjadi? Hanya dia pembuat skenario itu yang tahu..




