CATATAN TEPI PANTAI (Part 1)
Matahari hendak beranjak ke peraduannya ketika aku melangkahkan kaki keluar dari bus yang kutumpangi. Samar- samar ku dengar debur ombak di pantai, yang dulu pernah menjadi bagian dari kehidupanku. Ku lihat suasana pantai Pangandaran yang berbeda. Ketika terakhir kali aku datang ke sini untuk meminta doa restu orang tua sebelum keberangkatanku ke Inggris untuk melanjutkan kuliahku berbekal beasiswa yang sudah ku genggam.
Waktu terasa berputar begitu cepat bagiku. Dulu aku hanyalah anak nelayan miskin yang hidup kekurangan. Bermimpi menjadi seorang sarjana matematika. Mimpi yang dulu selalu menjadi bahan tertawaan teman-teman, ketika aku menceritakan keinginanku bersekolah di luar negeri. Wajar memang mereka menertawakan mimpiku, ayahku bukanlah saudagar ikan tapi hanya nelayan miskin. Bagi keluargaku mencari sesuap nasi saja rasanya sangat sulit bagai mencari berlian di tengah padang pasir. Untuk membantu kondisi ekonomi keluarga, ibuku mencoba berdagang kecil-kecilan menjual pernak-pernik khas daerah kami yang keuntungannya pun tak seberapa. Aku adalah anak ke dua dari emapt bersaudara. Kakak perempuanku sudah menikah dan tinggal bersama suaminya di kota lain. Melihat kondisi ekonomi keluargaku aku sungguh tak tega, hingga aku pun bekerja paruh waktu membantu para nelayan yang mau melaut untuk menarik perahunya, atau membantu nelayan yang pulang dari melaut. Memang hasilnya tak seberapa tapi cukup untuk bekal sekolahku. Aku memang tak mau menyusahkan orang tua.
Untuk urusan sekolah aku masih bisa dibilang beruntung karena pihak SMA tempatku bersekolah membebaskanku dari kewajiban administrasi dan terkadang aku mendapat uang hasil jerih payahku sendiri jika beruntung menjadi juara. Teman-teman sekelasku tahu aku berasal dari keluarga yang kurang secara finansial namun aku bersyukur mereka tak pernah mengucilkan ku, mereka justru memotivasiku untuk tidak putus sekolah. Namun harus ku akui aku tidak bisa sebebas teman-temanku yang kondisi finansial keluarganya baik. Masih terbayang dengan jelas di pelupuk mataku masa-masa SMA itu. Ketika bel pulang berbunyi, cepat-cepat ku kayuh sepeda tuaku pemberian dari seorang kenalan ayah. Seolah berkejaran dengan waktu aku langsung menuju ke tempat ibuku berjualan menggantikannya menjaga dagangan. Tak pernah terpikir dalam benakku untuk mengeluh walau hanya sesaat, karena aku sadar semua ini ayah ibu lakukan untuk membiayai kehidupan keluarga kami.
Tak terasa semua itu kini telah berlalu, tujuh tahun lamanya aku tak menginginjakkan kaki di bumi kelahiranku. Tujuh tahun pula aku tinggal di negeri orang, Inggris. Hal yang dulu hanya mimpi seorang anak pantai. Dunia memang terus berputar seperti roda, ya roda kehidpan di mana tak selamanya seseorang berada di atas dan tak selamanya pula seseorang berada di bawah. Roda itu berputar sesuai dengan usaha dan peruntungak kita yang telah di bawa sejak lahir.
Sejenak aku duduk di hamparan pasir panati melepas lelah seusai melakukan perjalanan jauh. Ku lihat sang mentari seolah mulai tenggelam bersamaan dengan datangnya sang bulan di cakrawala. Tapi entah mengapa , rasanya aku ingin diam sejenak di tepi panati, merenungi perjalanan hidupku yang berliku.
*******
Flashback.
Pangandaran awal tahun 1998an.
“ To, Anto ke pantai yuk!” Andi berteriak memanggilku senja itu.
“ Tunggu sebentar Ndi, aku ganti baju dulu” sahutku dari dalam rumah.
“ Cepetan aku pengen lihat lagi matahari tenggelam” tiba-tiba terdengar sebuah suara lain selain suara Andi, ya aku kenal suara itu,suara Izul temanku yang bernama lengkap Zulkifli itu selalu terobsesi untuk menyeberangi hamparan lautan luas yang membentang indah dari daerah pantai tempat tinggal kami.
“ Lets go kita ke pantai.Lihat matahari tenggelam katamu.” teriak ku dari dalam rumah sambil mengerling tanda canda ke arah Izul.
“ Kamu mah meni so make basa Inggris To, kawas ngarti bae .“ kata Maman dengan logat Sunda aslinya yang kental.
“ Ya ngerti atuh, aku kan belajar bahasa Inggris. Aku ingin pergi ke Inggris suatu hari nanti, dan menuntut ilmu di sana.” kataku sambil tiduran di pasir dan memandangi langit senja yang cerah.
“ Wah, mimpimu tinggi banget To, ntar kalo gak nyampe terus kamu jatuh skait tau rasanya.” kata Andi padaku sambil tertawa –tawa.
“ Ya kan lebih baik bermimpi dari pada tidak sama sekali. Yang penting kita udah punya keinginan, usah berusaha semaksimal mungkin. Soal tercapai atau enggaknya ya kita serahkan saja pada Alloh SWT .“ sahutku pada mereka semua.
“ Tapi To aku gak ngerti sama cara mikirmu. Ibumu cuma pedagang kecil, bapakmu nelayan kayak bapakku yang SMP aja gak lulus kayak orangtuaku tapi pengetahuan sama cita-citamu melebihi anak pejabat. Kamu diajari sama siapa? Terinspirasi oleh siapa? Gak ngerti aku.” Kata Andi.
“ Nih menurut pendapat ahli filsafat Muhammad Anto” kataku sambil menunjuk pada diriku sendiri “ Jika orangtuamu bekerja sebagai nelayan maka anaknya harus bisa meningkatkan derajat orangtua dengan cara mempunyai pekerjaan yang lebih dari orangtuanya.” Kataku tanpa bermaksud menyombongkan diri.
“ Bagus juga filsafat hidupmu, To. Tapi, gimana cara kamu ngegapai mimpimu yang setinggi langit itu? Apalagi niatmu pengen kuliah.” Tanya Izul padaku, seolah meminta kepastian.
“ Kita gak boleh berhenti bermimpi selama harapan untuk menggapai mimpi itu masih ada, walaupun cuma 0,000001 %. Eits jangan cuma berani bermimpi tanpa berusaha mewujudkan mimpi itu jadi kenyataan. Hidup itu kan perjuangan jadi belajar,bekerja,berusaha,berdoa,ikhtiar itu wajib. Maslah kesampaian atau gaknya sih itu urusan Yang Maha Kuasa.” Sahutku sambil memandang ke laut bebas. Membayangkan segala sesuatu tentang masa depanku. Keinginanku untuk kuliah di ibukota Propinsi Jawa Barat,Bandung. Suatu tempat yang hanya ku tahu namanya tanpa ku tahu wujudnya.
“ Emangnya kalian gak punya mimpi?” tanyaku cukup penasaran apalagi pada Maman yang sedari tadi hanya menjadi pendengar setia.
“ Punya atuh.” Sahut Maman yang sedari tadi hanya diam membisu. “ Apa?” tanya kami bertiga penasaran. “Aku ingin jadi seorang pengusaha yang cinta produk Indonesia” sahut Maman,dan mulai terlihat kobaran api semangat di matanya yang bulat besar itu. “Aku ingin menunjukkan pada semua orang, pada dunia bahwa produk Indonesia tak kalah kualitasnya dengan negara lain.” Wah emang harus diakui di antara anggota emapat sekawan, dialah yang paling cinta Indonesia. Apalagi budaya Indonesia. Ketika kami masih kelas 2 SMP, suatu hari bu guru kesenian menyuruh kami menyanyikan sebuah lagu. Bebas mau lagu apa pun juga. Dan yang mengejutkan hanya Maman yang menyanyikan lagu daerah Sunda,waktu itu lagu yang dinyanyikannya adalah Karatagan Pahlawan. Suaranya memang biasa saja bahkan terkadang fals,tapi semangat untuk menyanyikan lagu itu sepenuh hati mengalahkan suaranya yang fals itu. Ketika guruku menanyakan alasannya memilih lagu itu ternyata sederhana saja yaitu kecintaannya pada budaya Sunda.
Entah kenapa saat itu kami semua hanya terdiam dan memandang ke arah laut lepas seolah tak satu katapun yang bisa terucap. Izul yang biasanya pandai membuat kami semua tertawa pun kini hanya tiduran di atas hamparan pasir putih. Aku sendiri pun sama, terpikir di benakku berbagai kemungkinan yang bakal terjadi di masa depanku kelak. Apa mungkin aku yang hanya seorang anak nelayan miskin bisa duduk di bangku kuliah,mendengarkan dosen memberi mata kuliah,berdiskusi dengan para ahli fikirku menerawang ke arah langit.
Sungguh aku ingin melanjutkan pendidikanku ke bangku kuliah namun aku juga harus tahu diri dan memikirkan nasib saudara-saudaraku yang lain. Tiga orang adikku lebih membutuhkan pendidikan itu daripada diriku sendiri tapi akupun tak menyangkal mimpi-mimpi yang selau mendatangiku setiap malam.Aku ingin kuliah! Aku ingin jadi sarjana! Aku ingin pergi meloncong ke luar negeri! Ya Alloh bantu aku,aku gak mau hidupku hanya berakhir sampai di sini. Jadi buruh,atau pun pegadang ikan di pinggir pantai. Aku mau pergi dari sini tapi bagaimana caranya??
Bersambung.
Bersambung.




0 komentar:
Posting Komentar