Setiap tempat memiliki cerita pada setiap sudut
yang telah terlalui. Meski pun itu hanyalah seonggok bangunan namun cerita yang
tersimpan di dalamnya entah sudah berapa mungkin tak terhitung. Tiap orang yang
datang dan pergi atau sekedar melewatinya membawa cerita mereka masing-masing
yang berbeda. Entah itu cerita bahagia mupun kisah pilu yang menyertainya.
Jika sebuah kenangan hanya tersimpan di seonggok
tempat mungkin begitu mudah untuk menghapusnya. Bila sepotong kenangan hanya
tersimpan dalam selembar foto yang mengingatkan pada cerita indah yang sudah
bahagia, mudah saja tinggal merobek foto itu, begitu pula jika selembar kertas
masih tersimpan kenangan di dalamnya bakar saja selesai masalah kan? Namun
bagaimana bila kenangan yang mungkin ingin aku atau orang lain di luar sana
disebut kenangan indah yang brengsek nyatanya bukan hanya seonggok bangunan
atau selembar foto? Ya ada hal lain yang terlupakan bila kenangan tersebut ada
dalam sebait nada lagu, nyanyian indah yang senang kau dengarkan, sayang kini
bahkan sebelum intro selesai pun kau sudah keburu muak mendengar lagu itu.
Walau orang yang membuatmu muak dengan lagu itu bukan mantan pacarmu
*******
‘Aih kenapa mesti lagu itu lagi sih? Mana yang
muter kak Rangga lagi. Protes nggak ya, mau minta ganti lagu dia tahunya aku
suka lagu itu.’ Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Sebenarnya bukan lagu itu
yang bersalah. Lagu itu tidak salah apa-apa. Bahkan orang yang penyanyi asli
lagu ini pun tak pernah bertemu denganku.
Iya dulu aku suka lagu ini, hampir setiap hari lagu
ini yang kuputar sampai-sampai sahabatku berkata apa tidak ada lagu lain yang
aku tahu. Sebenarnya aku memiliki banyak lagu entah itu di HP atau gadget lain
namun lagu ini terasa begitu spesial. Lagu yang pernah dinyanyikan oleh
laki-laki yang pernah mengisi hari-hariku. Saat aku menjadi mahasiswa baru di
kampusku. Ah sampai sekarang pun jika kau menyuruhku menceritakan tentang dia,
aku masih bisa mengingatnya. Kecuali, pada bagian akhir cerita yang sudah
kulempar jauh ke tengah samudra.
Flashback 2
tahun yang lalu
“Oke setelah acara pembukaan, mari kita nikmati
malam yang indah di bawah sinar rembulan dan cahaya bintang ini diiringi
petikan gitar dan suara merdu kak Dimas.” Seorang panitia yang menjadi pembawa
acara pada malam keakraban ini menyebutkan suatu nama. Dimas? Siapa dia? Aku
pun tak tahu karena aku tidak hapal nama satu persatu panitia kegiatan
silaturahmi mahasiswa baru ini. Tiba-tiba keluar dari seseorang dari tenda
panitia keamanan yang membuatku menegang seketika.
Ternyata dia orang yang pernah menghukumku jalan
kodok di hadapan teman-teman ketika aku lupa tidak memakai atribut. Aku lihat
kakak-kakak panitia yang perempuan mulai histeris melihat kak Dimas padahal tak
ada yang istimewa dari dia. Memang tampan sayangnya galak jutek lagi. Wait, dia
menyanyikan lagu favoritku suaranya memang bagus.
End
flashback.
Gak ada satu hal istimewapun, sampai suatu hari aku
hendak meminjam literatur di perpustakaan dan aku baru sadar kartu anggota
milikku tak ada di dompet. Padahal aku benar-benar memerlukan buku itu untuk
bahan laporan praktikumku. Saat aku sedang memelas pada bapak penjaga
perpusatakaan yang sayangnya tak peduli dengan wajah memelasku ada orang di
belakangku yang berkata “Pak ini, dia pakai kartu punya saya. Kami perlu buku
itu untuk bahan diskusi.” Saat aku melirik ternyata itu kak Dimas. Awalnya aku
ingin membantah sayang buku itu keburu diambil kak Dimas.
Sejak itulah awal kedekatan kami. Pernah kutanya
kenapa saat itu dia ada di perpustakaan dan mengapa dia mau meminjamkan kartu
anggotanya? Dia bilang sebagai permintaan maaf gara-gara menyuruhku jalan kodok
dan membuatku menahan malu di hadapan teman-teman. Aku juga tidak mengerti awal
ceritanya semua mengalir begitu saja hingga kami sering menghabiskan waktu
bersama. Makan siang di kantin, atau sekedar mencari bahan diskusi di
perpustakaan. Kedekatan yang tak jarang disalahartikan orang lain. Apalagi
menurut kabar yang ku dengar waktu itu kak Dimas kabarnya disukai oleh teman
teman senagkatannya yang notabene seniorku. Yaa kami memang dekat. Dia bahkan
sering mengunjungi kosku meski aku sudah sering pula melarangnya. Bukan kenapa
aku tidak enak dilihat teman-teman kosku yang sebagian seangkatan dan kenal
dengan kak Dimas. Namun bukan kak Dimas namanya kalau nurut. Dia bahkan pernah
bertemu keluargaku. Ya dia memang sosok yang pantas disukai banyak orang.
Banyak hal yang kuketahu tentangnya bahkan
kehidupan pribadinya tapi ada satu hal yang tak kuketahui yaitu siapa perempuan
yang dia cintai. Setiap aku bertanya pasti dia selalu menjawab “Aku belum tahu
Lika santai sajalah hidup tak sependek pikiranmu. Lagian kenapa kamu tanya
gitu? Cemburu? Takut aku lupa sama kamu ya? Nyantai aku gak bakal kok lupa sama
kamu, malah aku khawatir kamu duluan yang akan melupakanku setelah kamu punya
pacar. Sana deketin gebetanmu biar gak jadi cewek yang kesepian haha.” Selalu
begitu akhirnya aku yang diejek samapai aku malas bertanya.
Nyatanya dia duluan yang punya pacar. Dia pula yang
lebih dulu melupakanku. Aku masih ingat saat itu libur 2 minggu, ya waktu yang
cepat untuk mengubahnya. Awalnya aku tak paham dia tiba-tiba menghindar dariku.
Aku salah apa ya? Itu hal yang pertama aku pikirkan. Tapi semua pemikiran itu
sirna, saat aku secara tak sengaja melihatnya menggandeng tangan seorang
perempuan yang aku tahu teman seangkatannya. Aku tahu dia sejak dulu menyukai
kak Dimas. Bahkan saat ku coba menghubungi kak Dimas malah dibalas “maaf ini siapa
ya?” aku kaget kak-Dimas-menghapus-nomorku?. Ternyata Hpnya sedang dipegang
pacarnya mereka lagi jalan rupanya. Sejak saat itu hingga detik ini kami tidak
pernah saling kontak.
Kami dekat tapi kami bukan sepasang kekasih ataupun
pasangan pendekatan maupun tanpa status atau teman tapi mesra. Aku hanya
menganggapnya kakak yang tak pernah aku miliki begitupun dia sepertinya. Tak
ada getaran saat di dekatnya aku sayang dia sebagai kakak. Sepertinya ada yang
menyalahartikan hal itu.
“Lika, ayo kita sudah sampai.” Suara kak Rangga
mengagetkanku. Ah, rupanya kami sudah sampai di depan taman ini. Sudah lama kak
Rangga mengajakku untuk mengunjungi taman ini di sore hari. Tiba-Tiba terdengar
langkah kaki menghampiri kami berdua.
“Lika, sedang apa? Syukurlah aku bisa bertemu lagi
denganmu.Kamu sama siapa Lika?Inikan kak Rangga kamu bareng dia?” Melihat sosok
di depanku ingatan dua tahun lalu itu kembali mengantam ingatanku.
“Oh kakak masih peduli ya padaku, setelah dua tahun
menghilang tanpa kabar membuatku seolah jadi kambing hitam antara hubungan
kakak sama cewek yang entah siapa. Tahu kan kak aku sayang sama kamu kayak ke
saudara kandungku sendiri? Apa maksudmu? Iya kak Rangga sekarang pacarku. Ingat
kak aku gak kayak kakak yang udah punya pacar lupa sama teman sendiri lupa sama
sahabat sendiri. Aku bukan pengecut seperti itu. Ayo kita pergi kak.” Tanpa
sengaja kutarik tangan kak Rangga. Tapi kak Rangga menahanku.
“Lika, ingat di awal kebersamaan kita kamu pernah
cerita bahwa pernah ada seseorang yang kamu sayangi seperti kakak kandungmu.
Aku tahu samapi saat ini kamu sayang sama dia sama seperti kamu sayang ke
sahabat-sahabatmu yang lain. Egois gak baik lho,mending kamu selesaikan.
Everything happens for a reason. Beri Dimas waktu untuk menjelaskan.” Jika saja
bukan kak Rangga yang berkata mungkin aku sudah lari.
“Lika, aku tahu sikapku 2 tahun lalu itu
benar-benar salah. Menjauhimu. Waktu itu dia yang jadi pacarku memintaku
menjauhimu di dunia nyata atau dunia maya. Aku sudah terlanjur mencintainya. Ya
samapi saat inipun aku masih bersama dia. Aku baru sadar ketika teman-teman
kita yang lain mengetahui kerenggangan kita dan mereka seperti menyalahkanku.
Awalnya aku tak terima. Tapi setelah beberapa lama aku sadar aku yang salah,
menjauhimu padahal kamu tidak salah apapun dalam hal ini.” Ujarnya.
“Terus apa sekarang yang kakak mau? Sana pergi sama
pacar tersayangmu itu.” Siapa yang tak kesal, orng yang kamu anggap kakak atau
sahabat tiba-tiba pergi dan lalu muncul minta maaf dengan polosnya. Walaupun
aku dalam lubuk hati masih ingin menganggapnya sahabat atau kakak tapi ego
masih menyelimuti pikiranku saat ini. Tanpa sadar ku tatap kak Rangga
menatapnya memberi isyarat akau harus apa sekarang?
“Maafkanlah, bermaafanlah kalian saling tidak
bertegur sapa itu gak baik. Lagian sikap Dimas yang sudah berani minta maaf ya
walau telat sih kelamaan kamu Dim nunggu dua tahun dulu.” Saat seperti ini kak
Rangga masih bisa terkekeh.
“Apa kamu masih mau jadi sahabatku jadi adikku lagi
Lika? Aku janji gak bakal kayak dulu lagi yaa kamu bisa pegang ucapanku. Aku sadar
walau punya pacar bukan berarti kita ninggalin teman-teman kita bukan begitu
kak Rangga?”
Kenapa mesti bawa-bawa kak Rangga, yaa aku memang
masih menganggap dia teman walau beberapa yang lain pernah berkata untuk apa
punya teman atau sahabat seperti dia. Kubalas ucapan kak Dimas dengan seulas
senyum. Mungkin ini saatnya memaafkan apa yang telah terjadi pada saat yang
lalu.




0 komentar:
Posting Komentar