Sabtu, 21 Desember 2013

MAMA, MY INSPIRATION

Diposting oleh Icha Tisa di 16.06 0 komentar
Pagi ini ketika saya membuka sosial media rata-rata dipenuhi dengan ucapan selamat hari ibu. Oh iya hari ini memang tanggal 22 Desember yang diperingati sebagai hari ibu. 
Sudah 18 kali seumur hidup ini saya mengalami hari ibu dan jujur saja tak ada yang berbeda dengan hari dan tanggal lainnya. Tapi pagi ini ada hal yang terasa berbeda, saat kerinduan itu mulai menyusup relung hati dan meminta tangan merengkuh memeluk seseorang yang selama 18 tahun selalu sabar dan mendampingi saya bahkan sebelum saya menghirup oksigen bebas untuk pertama kalinya, mama.
Ini memang tahun pertama saya berada jauh dari mama,sebagai mahasiswa dan anak kos. Biasanya setiap hari bertemu bisa berbagi cerita sepuas hati namun perbedaan tempat Banjar dan Yogyakarta membuat saya harus berpuas hati cerita lewat telpon. Hal yang membuat saya menyadari betapa mama menyayangi saya adalah mama selalu ada saat saya ingin berbagi. So izinkan di hari ibu ini saya sedikit membagi apa yang telah saya dapat dari mama.
  • Mama Teman curhat.Mungkin ada beberapa anak di dunia ini yang segan untuk berbagi masalah dan curhat dengan ibu mereka. Sayang saya tak termasuk di dalamnya. Tidak terhitung berapa sering sesi curhat itu berlangsung. Bahkan ketika saya menyukai seseorang atau mempunyai teman spesial saya memilih bercerita dengan jujur pada mama. Terserah mau pada bilang anak mami, udah gede masih manja. Emang siapa peduli? Justru dengan terbuka tidak akan menimbulkan kecurigaan orangtua. Ketika sudah bercerita pada mama,seperti kamu bercerita pada sahabat terbaikmu rasanya suatu hal yang menyenangkan. Mama sudah hidup lebih lama dan pernah muda, terkadang kalau galau akupun meminta pendapat mama, apalagi mama pernah menghirup udara Jogjakarta seperti ku. Mama tidak pernah melarang saya untuk mempunyai teman dekat selama dia orang baik dan berakhlak bagus. Pernah ketika saya dekat dengan seseorang di jaman dahulu kala mama terlihat tidak setuju, tapi saya pura-pura gak ngeh ternyata orang itu memang bukan orang baik yang sesuai.
  • Mama Pahlawan hidupku. Bapak sudah meninggalkan kami berdua saat saya duduk di bangku kelas 5 SD. Meskipun anak mama cuma 1 gak gampang lho menghadapi 1 anak juga apalagi yang kadang labil seperti saya. Mama tahu sejak kecil saya sudah bercita-cita jadi dokter, tapi saya juga paham biaya buat jadi mahasiswa kedokteran gak murah dan gak mudah. Nyatanya mama mampu mewujudkan apa yang pernah aku pikir akan terjadi. Mama menabung sejak bapak meninggal, aku tahu perjuangan mama seperti apa untuk membantu ku jadi mahasiswa kedokteran. Bahkan ketika saya ikut PMDK,CBT seleksi masuk kedokteran yang paling sering puasa, tahajud dan sebagainya adalah mama. Saya sendiri? Hehe tahajud pun masih terlalu sering bolong.
Sebenarnya masih banyak dan terlalu banyak yang harus dan dapat diceritakan,biar saja jadi pengisi cerita sehari-hariku. Hari ini saya ingin jadi 1 dari sekian banyak anak yang ikut merayakan hari ibu. SELAMAT HARI IBU,MAMA YOU'RE MY INSPIRATION.

Minggu, 08 Desember 2013

PULANG ( EVERYTHING IS ALRIGHT )

Diposting oleh Icha Tisa di 10.17 0 komentar

Hai all maaf ya lama gak posting. Bukannya lupa sama blog tapi praktikum dan buku-buku serta hapalan terus melambaikan tangan. Guys just enjoy it.
Dedicated for someone makasih untuk tawanya setiap hari.

"I'll be here, by your side
No more fears, no more crying
But if you walk away
I know I'll fade
'Cause there is nobody else" One Direction- Gotta be You


Perubahan memang sesuatu yang lumrah terjadi tak bisa ditahan ataupun ditolak. Namun pada kenyataannya tak semua orang bisa menerima perubahan itu. Apalagi jika hal itu terjadi dalam waktu yang begitu singkat hingga seolah hal itu adalah mimpi bukan sesuatu yang mesti dihadapi. Sayang perubahan itu nyata dan Alika menyadarinya semenjak kereta yang membawanya dari Bandung kembali ke Yogyakarta sampai di stasiun Tugu.
Sebulan yang lalu dia tak sendirian di stasiun ini. Sebulan yang lalu mereka masih berdua. Melangkahnkan kaki ke dalam gerbong kereta api dengan tujuan yang berbeda. "Sebulan? lama sekali ya, aku akan merindukanmu. Pasti sepi gak ada yang cerewet teriak-teriak ngambek tiap kali aku godain." Kalimat itu masih terngiang jelas di telinganya. Namun apa itu masih menjadi kalimat yang sama bila mereka bertemu kembali sekarang? Alika tak yakin siap bertemu kembali dengan Fakhri setelah semua yang terjadi dalam sebulan ini. Meskipun dia sadar tak mungkin menghindari seseorang yang berada dalam naungan kampus yang sama dan selalu ada peluang untuk sebuah pertemuan tak terduga.
Lalu lalang penumpang di sekitaran stasiun yang riuh tak mampu menyelipkan sedikit keriuhan untuk hatinya. Alika paham dia harus menghadapi semua ini. Dia tak tahu salah siapa ini? Dia tak mampu menyalahkan siapapun hatinya sudah terlanjur kacau, pikirannya terlanjur semrawut ketika keluar dari dalam gerbong. Yogyakarta, kota yang menjadi idamannya sejak kecil. Masuk dalam daftar most wanted dalam catatan hariannya. Kota yang telah rela membagi denyut nadinya bersama Alika selam 3 tahun ini. Kota tempatnya menuntut ilmu, merajut mimpi masa kecilnya menjadi seorang dokter. Di sini pula Alika untuk pertama kalinya 3 tahun lalu bisa melupakan cinta pertamanya pada sesorang yang telah membuatnya menunggu hingga 5 tahun, diam-diam memperhatikan seorang kakak senior pendiam yang membuatnya tetap tersenyum selama masa orientasi. Hingga dia tahu akhirnya ternyata kakak senior itu sudah punya pacar beda kota. Patahlah lagi hatinya dan dia pun memutuskan untuk tidak jatuh cinta, apalagi dengan seseorang yang satu kampus dan satu angkatan. Gue kapok patah hati, ogah kepedean dan gak mau di PHPin lebih baik jadi jomblo bahagia. Kalimat yang hanya bertahan kurang dari sebulan.
Awalnya Alika tak menyadari dia telah jatuh cinta hatinya menolak untuk memberi harapan pada diri sendiri.
Flashback
"Alikaaa, kok belum pulang?" sebuah suara menyadarkannya ke dunia nyata dari novel yang tengah dibacanya.
"Eh, belum. Lagi nunggu Fika selesai rapat."
"Ya sudah aku duluan ya. Kamu kos di mana Alika?"
"Dekat sini kok samping kampus." Seulas senyum tak sadar dia berikan pada orang yang mengajaknya berbicara.
"Aku duluan ya,hati-hati ya Alika."
Percakapan singkat itu ternyata membawa perubahan perlahan. Hampir selalu ada senyum terulas di bibirnya setiap kali melihat Fakhri. Alika belum tahu apa yang terjadi dengan dirinya. Dia hanya ingin menikmati perasaan itu seorang diri, tak mau membiarkan orang lain tahu, biar tak ada hati yag terpatahkan lagi. Senyum yang terpancar dari jarak 7 meter, bila Fakhri berada di dekatnya justru senyum itu hilang. Alika seolah tak peduli dengan kehadiran laki-laki itu.
Tak baik bila seorang perempuan memulai lebih dahulu. Ntar disangka perempuan gampangan lagi. Alika hanya berani melihatnya tertawa dari jauh. Merasakan hawa panas menyebar di sekujur tubuhnya ketika dia tertawa riang atau menggoda teman perempuan lainnya. Keberanian Alika hanya sampai pada merespon kicauan Fakhri di akun Twitternya. Keberanian yang berujung pada percakapan panjang tak nyata. YA mereka hanya berani bertegur sapa di dunia yang maya. Dunia nyata? Mereka seperti dua orang asing yang belum pernah bertemu.
Bukan perkara mudah buat seorang Alika yang terbiasa bicara blak-blakan menutupi perasaannya agar tidak diketahui teman-temannya. Namun semua keburu terlanjur ketika dia lupa meninggalkan handphone di kamar temannya. Pesan demi pesan pun terbongkar. "Alika sampai kapan kamu mau tetap begini? Berura-pura tak punya perasaan. Mau sampai kapan bertahan menunggu ketidakpastian? Memangnya kamu pikir dia yang lima tahun kamu tunggu juga menantimu juga? Buktinya sampai sekarang kalian beda kota dia semakin menjauh. Buka hatimu Alika,pakai logikamu. Kalau cinta mengapa harus gengsi? Dia malu tak berani memulai, tidak akan ada yang menyalahkanmu bila kamu memberinya kode terlebih dulu. Kamu hanya perlu keberanian dan dia hanya perlu stimulus untuk mengungkapkan perasaannya." Nasihat panjang lebar dari sahabat dekatnya itu tak lantas dia lakukan sampai ada paksaan.
Paksaan yang disyukuri Alika saat itu, tepat seminggu sebelum mereka berani menjadi satu. Bukan Alika, bukan Fakhri tapi mereka berdua. Dua menjadi satu. "Perempuan punya hak untuk menjawab dan laki-laki berhak untuk bertanya." ujar Alika saat itu.
"Aku gak bisa bikin kalimat yang bagus atau puitis aku gak romantis,tapi kamu mau kan sama aku?" Jari kelingking tangan kanan milik seseorang dihadapannya itupun terulur, Alika hanya menunduk tak menjawab dan mengaitkan kelingking kanan miliknya pada kelingking yang terulur itu. Yogyakarta di sini aku memulai langkah meatap ke depan, terimakasih langit Yogya kau saksinya.
*******
Dipandanginya jalanan Malioboro sore itu, guyuran hujan yang membasahi kota pelajar sesaat setelah dia menginjakkan kaki kembali di kota telah usai. Namun genangan air masih terlihat di sepanjang jalan. Menggenang seperti kenangan-kenangan sepanjang jalan pikirannya. Entah apa yang ada di pikiran Alika hingga memutuskan mengunjungi tempat itu. Ditinggalkannya koper di hotel langganan keluarganya. Semalam biarlah aku menenangkan diri tak kembali ke tempat kos. Toh teman-temannya belum ada yang tahu dia sudah kembali.
Alika hanya duduk terpaku di bangku taman depan Benteng Vredeburg. Tanpa sadar matanya melihat sepasang laki-laki dan perempuan asyik bercanda dan sang laki-laki tengah asyik memotret dengan objek si perempuan yang sedang memegang mawar putih. Pasangan yang bahagia, seperti aku dahulu batinnya. Biasanya mereka duduk di bangku-bangku taman itu mengamati keriuhan Yogyakarta di malam hari. Tapi sore ini hanya Alika sendiri.
Alika dan semua hal yang mendadak seperti semu tanpa kejelasan. Pesan yang dia terima dan foto yang dilihatnya seminggu lalu mengubah semuanya. Kalau bukan Fakhri yang mengirimnya dia tak akan begini sekarang. Merana sendirian di tengah jantung Yogyakarta. Dibacanya kembali email yang masuk seminggu lalu itu.
"dear Alika cerewet, apa kabarmu sekarang? Hampir sebulan kita tak bertemu. Sebulan sudah cukup untuk mengubahmu. Aku kira kamu sudah benar-benar melupakannya, aku kira tujuanmu ke Bandung untuk menengok sahabatmu.  Aku tahu melupakan yang kau kenal 7 tahun lebih sulit ketimbang melupakanku yang baru kau kenal 3 tahun. Tak perlu kau jelaskan apapun cukup aku yang meraaka, aku tak marah melihat foto dan komentar itu. Maafkan aku bila semuanya telah berubah sekarang ini bukan salah siapaun. Kau bebas memilih mungkin dia memang lebih romantis :(."
Foto itu. Fotonya bersama seseorang dari masa lalu. Dia tak pernah sengaja bertemu dengan lelaki itu semua kebetulan semata. Foto saat liburan kemarin ketika Alika dan dua sahabatnya mengunjungi Lembang. Foto dia tengah duduk berdua di kursi bambu dan memegang sekuntum bunga. Bukan dia yang mengunggah foto itu. Dia bahkan baru tahu ada foto itu ikut terunggah. Sejak itu Fakhri sulit dihubungi hingga Alika memutuskan kembali ke Yogyakarta lebih cepat dari rencananya. Dia tak tak pernah mau kembali ke masa lalu, tak pernah ingin kehilangan tawa lebar bersama Fakhri. Hatinya makin tak menentu saat melihat timeline Fakhri penuh dengan percakapan dengan seorang perempuan yang entah siapa. Tertawa di Twitter sementara mention dari Alika tak dibalas.
Alika tak tahu harus apa dan bagaimana namun hatinya menginginkan dia pergi ke reruntuhan benteng dekat Taman Sari. Dihentikannya taksi yang kebetulan lewat di depannya. Bodoh memang menenangkan diri di tempat yang menyimpan kenangan tapi itulah yang diinginkannya. Matahari sudah hampir tenggelam tapi reruntuhan benteng masih ramai oleh orang yang menikmati senja. Alika memutuskan untuk duduk di tangga yang masih tersisa dari reruntuhan benteng itu ketika dilihatnya ada seseorang sedang memotret panorama senja di sekitaran benteng. Sosok itu mengingatkannya pada Fakhri. Dia memang Fakhri, saat Alika masih memandangnya lekat sosok itu keburu membalikkan badan menghadapnya.
Tak ada canda tawa seperti biasanya, hanya ada kesunyian. Alika tak berani meulai percakapan. "Aku kira kamu masih betah di Bandung. Biar bisa dekat sama lelaki itu. Kok malah balik ke Yogya?" Nada yang datar tanpa tersirat kemarahan sedikitpun keluar dari mulut Fakhri.
"Kau lupa aku tak suka laki-laki romantis? Apa kau lupa aku sudah punya pacar? Apa kau juga lupa siapa pacarku?" Alika menunduk tak berani memandang wajah Fakhri,brusaha menahan aliran emosi yang bergejolak.
"Aku ingat kok. Perempaun mana yang tak suka diberi bunga oleh seseorang yang pernah ada di hatinya?" dia begitu tenang,Alika heran sebenarnya siapa yang marah dan menjadi korban dia atau Fakhri.
"Aku rasa semua perempuan senang menerima bunga,sayang bunga yang kuterima itu dari sahabatku bukan seperti harapanmu. Aku tak sengaja bertemu dengannya dan foto itu pun aku tak tahu temanku memotretnya. Kami hanya berbincang biasa. Lagipula ada perempuan yang sedang didekatinya. Masa lalu bukan untuk dikembalikan aku lebih suka bersama seseorang yang ada sekarang. Harusnya aku yang bertanya kemana saja kamu selama seminggu ini? Mengapa pesanku tak pernah direspon? Siapa perempuan yang asyik tertawa denganmu di Twitter"
"Maaf Alika aku kira kemarin aku harus mempersiapkan diri untuk menjalani hidup seperti saat sebelum kamu datang. Aku pikir kau sudah mulai menganggap yang romantis dan bisa memberimu bunga lebih baik untukmu. Aku tidak marah Alika. Perempuan itu? Sudahlah tak usah dibahas lagi dia bukan siapa-siapa hanya teman biasa."
"Please Fakh, kau tahu harusnya aku baru kembali ke kota ini tiga hari lagi?  Aaaaah kau merengut tiga hari liburanku, apa susahnya bilang jujur walau cuma lewat SMS." Alika kesal setelah mendengar semua penjelasan itu. Meski di sisi lain dia bersyukur tawanya tak hilang dan dia tak perlu takut pergi ke kampus.
"Sudah ikhlaskan saja tiga harimu, aku juga masih betah di rumah. Tapi lihat foto itu bikin aku pengen balik ke Yogya. Aku juga baru tiba kemarin. Gak tahu kenapa tiba-tiba kepikiran buat main ke sini sendirian.
"Kamu gak bakal pergi kan Fakh?" Tanya Alika seperti meyakinkan dirinya sendiri bahwa Fakhri ada di depannya.
"Pergi ke mana Alika? Aku ada di sini kok, lagian kalau aku pergi ntar kamu galau lagi." Ujar Fakhri sambil tertawa.
"Fakhri jelek, aku gak galau kamu yang galau." Alika merengut walau hatinya mengakui.
"Aku di sini kok, selalu ada buat bikin kamu jengkel, ketawa. Aku juga kangen teriakan dan cerewetmu." Fakhri tersenyum.
Semua ternyata baik-baik saja, prasangka manusia terlalu berlebihan melebarkan yang sederhana. Terlalu banyak ketakutan disaat semuanya baik-baik saja.



 

Sabtu, 19 Oktober 2013

DUA KOTA DAN DILEMA (Part 1)

Diposting oleh Icha Tisa di 09.32 0 komentar
           Aku sebenarnya tidak yakin dengan apa yang kulakukan kini. Melangkahkan kaki tanpa menengok ke belakang. Meninggalkan sejuta hal dan kenangan bersama dia. Ah rasanya setiap jejak langkahku di tanah ini sudah dibaluri bayangannya. Aku hampir tak tahu lagi di mana tempat untuk menenangkan diri dari semua kekacauan ini. Aku sudah bosan, lelah tepatnya menghadapi semua ini. Tak mungkin menghapus semua jejak yang telah tercipta karena jejak itu abadi menyatu di tanah tersebar dalam udar kota ini. Kota kecil tempat aku menghabiskan banyak waktu bersama dirinya, bersama dia. Hmm dia. Iya dulu sebelum perubahan itu terjadi. Sebelum kita memutuskan melangkah ke arah yang berbeda, walau komitmen itu berusaha kupertahankan, mungkin kita pertahankan sayang tak ada yang abadi di dunia ini. Dan aku baru menyadarinya saat semua sudah terjadi.
           Apa aku harus pergi selamanya dari kota yang telah membesarkanku? Kota yang memberiku sejuta kenangan indah termasuk kenangan tentangnya yang bagaikan dua sisi koin. Pedih dan indah untuk dikenang. Aliran sungai dan bukit hijau di depan taman ini masih sama seperti dulu, tennag membawa kedamaian. Namun terasa ada yang kurang. Ya dia. Dulu hampr tiap Minggu sore kami datang ke tempat ini hanya untuk termenung mencari ide gila. Menulis cerita bersama, berbagi impian, masa depan bahkan di tempat ini pula dia mengatakan keinginannya meneruskan kuliah di kota itu. Kota yang berbeda denganku. Aku bahagia saja waktu itu, dia mau melanjutkan kuliahnya optimisme dan keinginannya yang berkobar membuatku merelakannya pergi membawa mimpinya. Semilir angin sore ini memaksaku membuka kembali cerita itu, awal dari semua ini. Awal takdir yang baru. Tiga tahun yang lalu

*******
"Car, aku boleh ngomong sesuatu gak sama kamu?" 
"Ngomong aja biasanya juga gak pernah minta ijin kalau mau bicara,tumben-tumbenan" tawabku tanpa mengalihkan pandangan pada puncak bukit yang ada di depan mata kami. Andri aneh banget deh, mau ngomong saja pakai minta ijin segala. Untuk apa aku melarangnya bicara,itu kan haknya dia. 
"Emm, udah memutuskan buat melanjutkan pendidikanku. Kemarin aku daftar kuliah di jurusan yang kamu sarankan waktu itu." Yaa ampun aku kira ada apa, ku kira dia bakal berkata macam aku terkenan penyakit berbahaya atau hal semacamnya. Tunggu kenapa raut wajahnya tak menunjukkan kebahagiaan?
"Ya bagus dong aku senang akhirnya kamu memilih untuk mendalami apa yang kamu sukai."
"iya, tapi ada hal lain yang belum kamu tahu. Tadi pagi aku meneima sebuah email ternyata pemebritahuan bahwa aku lolos seleksi beasiswa . Maaf aku tak cerita padamu sebelumnya. Aku hanya tak mau merepotkan dan memberi kabar yang belum pasti. Tapi aku rasa kamu berhak mengetahuinya. Dari dua universitas yang kuajukan saat pendaftaran ternyata aku hanya diterima di pilihan kedua." Aku sedikit kaget mendengar penjelasannya, namun aku paham dia memang menolak merepotkan siapapun. Dia ya menurutku terlalu mandiri. 
"iya tidak apa aku paham dirimu, Ndri. Lalu kenapa raut mukamu malah sedih? Ini kabar bahagia kawan."
" Kau belum tahu semuanya. Kita bakal pisah kota. Universitas yang menerimaku tidak berada satu kota dengan tempatmu belajar nanti. Maafkan aku."
"tenang saja, aku tak marah kok. Kamu tidak akan melupakan adik kecilmu ini kan?Aku hanya takut begitu kau pindah lalu lupa pada kota kecil ini, dan lupa pada ku pada kita." Sembari menyunggingkan sebentuk senyum untuknya. Walaupun sebenarnya aku tak memungkiri kekhawatiran mulai timbul di benakku. Apa semuanya tidak aka berubah drastis.
"Kapan kamu pergi ke sana?" 
"Pada hari yang sama dengan keberangkatanmu. Aku pun berangkat ke  Bandung." Itu artinya hanya seminggu lagi kebersamaan kami.
"Jangan sedih ya jaga dirimu baik-baik di kota Gudeg. Kalau kangen sama aku kan tinggal SMS atau telpon, video call kalau mau." Ucapnya sambil nyengir.
"Idih siapa lagi yang mau ngangenin kamu. Ogah,kayak gak ada hal lain yang bisa dikangenin." Aku memang akan merindukanmu meski bukan hanya sebagai sahaba semata Andri.
Kau memang tak pernah tahu karena aku memang menyembunyikannya. Aku masih memegang teguh prinsipku untuk tak mengumbar perasaan pada laki-laki yang kusukai kecuali dia yang memulai lebih dahulu dan aku hanya perlu merespon. Apalagi dia adalah sahabat yang selalu menemaniku setiap hari. Pernah aku bertanya padanya tentang gadis yang dia sukai. Dia hanya berkata 'yang penting dia baik lagipula saat ini aku belum berniat mencari gadis itu. Perjalanan masih panjang lebih baik fokus saja dulu. Kuliah, menikmati masa muda dan masa lajangmu tak usah buru-buru. Santai saja tulang rusuk tidak akan tertukar. Jika dia memang untukmu sang pencipta akan mempersatukan kalian kembali kalau bukan ya sudah terima takdir cari yang lebih baik dari dia. Simpel kan gak usah ribet. Santai saja. Memang siapa laki-laki yang mau menawan hatim? Kalau masih pengen bebas ya udah gak usah mengikatkan diri pada dia. Enteng sekali. Sama sekali tak paham bahwa yang aku maksud adalah dia.  Lalu sepanjang sisa sore itu hanya kugunakan untuk memandangi aliran sungai dalam keheningan entah kenapa tak ada percakapan riuh seperti biasanya.

Okaaay segitu dulu postingannya itu chapter pembukanya. Mohon feedbacknya yaaaa.

Sabtu, 21 September 2013

PERUBAHAN

Diposting oleh Icha Tisa di 08.09 0 komentar
Haiii lagi rajin posting nih. Sebenarnya ini bukan cerita baru melainkan repost tulisan saya yang dimuat di kompasiana.com . Siapa tahu ada yang belum baca,monggo dibaca yuk daripada malam minggu menggalau tak jelas.



Setiap hal di dunia ini pasti akan mengalami perubahan. Tak ada yang statis, hal-hal yang ad di dunia ini akan mengalami kedinamisan. Tak ada yang sekedar diam. Perubahan itu ada. Walau terkadang kita mengingkarinya, bukan? Bukan mengingkarinya hanya saja pikiran kita berkata mengapa ini terjadi begitu cepat? Aku kira bukan sekarang mungkin esok atau lusa sepertinya akan lebih baik. Sebagian orang berpikir perubahan itu berjalan ke arah yang lebih baik dan menyenangkan namun dibagian lain ada yang merenungi perubahan dan dampaknya. Berusaha mengatakan tak akan ada yang berubahan meski terjadi perubahan dan semua  akan baik-baik sja ucap mulut mereka. Namun hatinya tetap berkata hal itu telah berubah dan berbeda dari dulu.
Ada yang berani berubah dan menginginkan perubahan. Sayangnya perubahan yang mereka lakukan tak konsisten. Ada pula yang takut untuk berubah. Sekali lagi bukan takut, namun khawatir perubahan itu menghilangkan sisi-sisi kehidupannya dan membawa serta kebahagiaan yang ada bersamanya. Siapakah yang sebenarnya salah? Aku, perubahan, keadaan, kau, mereka, atau bahkan tak ada satupun yang salah.
*******
Duduk merenungi apa yang telah terjadi selama ini. Cuma terdiam, bengong dan memandang kelap kelip lampu jalan raya di depan kamar kos. Apa sikapku selama ini padanya terlalu berlebihan, overprotektif kata teman-temanku. Ataukah kabar burung tentang perasaan lebih itu telah disampaikan angin padanya? Hingga dia enggan dekat denganku lagi. Mungkin dia merasa terkhianati karena kabar burung itu, terkhianati oleh seseorang yang selama ini sering berada disampingnya dan katanya berusaha mengubah perasaan yang telah terjalin menjadi tali kasih antara dua insan. Namun, mengapa dia mempercayai semua hal begitu saja? Jika dia memang mendapat kabar itu. Tapi di sisi lain, mungkinkah dia setega itu hingga terasa suatu perubahan? Perubahan yang dirasakan olehku tapi seperti tak ada yang beda menurutnya. Apa sosok lain lebih berarti bagi dia kini telah ada, maksudku telah ditemukan. Sosok perempuan manis, cantik, gemulai, lemah lembut dan tak pernah bicara panjang lebar. Ah, aku memang bukan siapa-siapa bagi dia. 
Apa aku harus menjauh dari kehidupannya seolah kita tak pernah berkenalan? Awalnya kita kan memang tak saling mengenal. Namun dia terlanjur menjadi bagian hidupku. Orang yang menciptakan sebagian tawa dan lelucon dalam hidupku, sosok yang menyediakan mata dan telinga untuk sekedar mendengar ocehan gadis ingusan sepertiku. Manusia yang tetap tertawa meski berkali-kali aku omeli seenaknya hanya karena sikapnya yang terlalu santai. Dia memang bukan seorang malaikat dia hanya manusia biasa namun tetap tak biasa di mataku. Menjauh dari hidupnya bukan hal mudah.
Kedekatan, sapaan akrab yang khusus sepertinya telah disalahartikan oleh beberapa orang. Termasuk oleh seseorang yang juga mengisi hatiku, namun berbeda posisi dengannya. Pernah tatapan  tak suka dia dapat dari seseorang itu, bahkan aku sendiri pernah mendapat sindiran "oh rupanya dia. Memang tampan dan cerdas. Kalau kau mencintainya lebih baik tinggalkan aku dan kembali padanya." Ucapan yang sukses membuat dia tertawa terbahak-bahak saat aku muncul dengan wajah mengkerut dan mata mulai memerah. "Ah sudahlah, kalau dia bilang seperti itu harusnya kau senang. Kalian belum ada status apapun dan ucapan dia tadi tanda dia juga menyukaimu. Bicaralah padanya nanti kutemani." ujarnya. Lalu kudatangi seseorang itu, wajah seseorang itu masih cemberut dan awalnya tak percaya dengan apa yang kukatakan melihat kedekatan dan cara kami saling menyapa. Aku memang menyayanginya namun bukan seperti perasaan padamu seseorang! Terima kasih kau akhirnya mau memahami bahkan bersmaku saat dia 'pergi'.
Minggu-minggu lalu, dua minggu lalu dia menghubungiku. Berbicara seperti biasa layaknya tak ada perubahan, handphonenya ternyata rusak dan aku telah salah paham karena menyangkanya sengaja menghilang. Aku merasa bahagia dia telah kembali, walau entah mengapa aku tetap merasa ada dinding tak tampak di antara kami berdua kini. Dia bilang untuk menemuinya di stasiun. Malam itu kuhabiskan dengan berbagai kemungkinan dan susunan cerita yang akan ku bicarakan padanya setelah sekian lama tak bertemu bukan karena berbeda kota, kesibukan masing-masing mungkin.
Seminggu setelahnya aku melihat dia. Tapi sepertinya lebih baik aku tak menemuinya. Telah ada seorang wanita di sana, bersamanya. Bukan cemburu. Aku tak mau disangka kekasihnya oleh perempuan itu atau orang yang menyukainya. Mereka terlihat begitu bahagia dan perempuan itu menggandeng tangannya. Aku pergi tanpa bertemu dengannya. Memilih ikut bahagia dan menghabiskan sepanjang hari itu dengan seseorang. "Kenapa kau terus bersikap seolah mengindarinya Ren? Aku tak kan marah lagi jika kamu dekat dengannya. Dia kan kakakmu hehe." Ujarnya.  "Terima kasih Do, kau mau memahamiku walau sampai sekarang kita masih tanpa status." sahutku tersenyum sebelum melanjutkan ucapanku.
"Aku takut Do,setelah dia menemukan seorang kekasih dia akan berubah, melupakanku seolah tak mengenalku lagi. Aku juga sadar diri kok, aku adik barunya yang datang setelah kmi tumbuh beranjak dewasa. Aku takut Do, dia mempercayai omongan orang bahwa yang kusukai adalah dia dan aku hanya memanfaatkanmu. Kamu masih ingtkan Do? Saat kita terakhir kali berkumpul bersma, kamu bertanya mengapa aku tak mengapa dia ikut serta? Waktu itu aku melihat dia sedang bersama seorang wanita aku pikir tak mau menganggunya, daripada nanti ajakan kita diacuhkan." ceritaku panjang lebar pada Aldo waktu itu.
"Perubahan itu memang ada dan kau harus meyakininya Ren. Semuanya akan baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kurangi egomu sedikit saja. Aku tahu kau merindukannya. Meskipun aku kini bebas bersamamu tapi aku juga tahu kau memerlukannya juga sosok kakak bagimu. Aku pernah ngerasain kok, bagaimana sedihnya saat orang yang kuanggap kakak terasa mengacuhkanku. Jangan ingkari hatimu seorang kakak dan adik itu tak perlu bertemu sedari rahim. Ada di antara adik dan kakak yang dipertemukan sesudah dewasa, di antaranya kamu dan dia. Dia kakak yang baik kok aku yakin." Ujar Aldo. Penuturannya barusan membuatku teperangah seakan aku baru sadar keegoisanku yang berharap dia yang datang lebih dulu dan ada saat aku sedih. Kemana aku selama ini, apa di baik-baik saja?
Dua hari setelah pertemuanku dengan Aldo masih tak ada kontak masuk dari dia, kakakku. Hingga satu pesan masuk ke handphoneku dari Aldo. "Ren, Repal sakit. Dia demam tinggi. Kalau dia masih bersatus sebagai kakakmu tengoklah dia bantu aku dan teman-teman menyembuhkannya." Dia sakit dan aku tidak tahu. Betapa cerobohnya aku sekarang. Setelah menyangka Aldo cemburu, lalu membiarkan seorang kakak sakit sendirian tanpa kutengok. Aku pergi ke sana bersama Aldo dan mendapati dia terbaring di tempat tidurnya, tersenyum lemah dan masih sempat mengajakku bergurau. Rasanya aku ingin memeluknya kalau saja aku tidak ingat dia sedang demam.
Perlahan kuhampiri dia di sisi tempat tidurnya, "kemana saja kamu Ren, apa sekarang yang jadi adikku Aldo heh?" tanyanya berhasil mengunci mulutku. Aku tak sanggup berkata keegoisan itu muali luntur meski setengahnya. Hatiku masih kesal karen dia pernah mengacuhkanku dan mengajakkku bertemu saat bersma perempuan lain. "Ah tidak aku kemarin sibuk." Ya sibuk dengan keegoisanku dan kekhawatiran. 
"Sibuk berduaan kali Ren sama Aldo haha." Dia malah menggodaku.
"Apa sih kak Repal, sudah diam nanti gak sembuh-sembuh." Tepat saat itu seorang perempuan masuk dan langsung menghampiri dia perempuan yang waktu itu aku lihat bersama kak Repal. Buru-buru aku beringsut ke arah Aldo dan memintanya mengantarkanku pulang. Aku beralasan pada Kak Repal, bahwa dosen menyuruhku ke kmpus untuk suatu urusan. Tapi aku tahu Aldo mengetahui yang sebenarnya.
"Ren, apa kamu mau hubungan kalian kembali seperti dulu? Rasanya kok aku kangen lihat duo aneh. Yang selalu tertawa. Kamu yang selalu mengomelinya setiap kali dia curi-curi pandang tiap lihat perempuan cantik, dan dia lalu mengejekmu sebagai nona galau."
"Aku juga Do apalagi. Kapan ya kita bisa berkumpul lagi?"
*******
Hari sudah semakin sore, namun aku masih di kampus. Menyelesaikan tugas di perpustakaan. Malas membawa daftar tugas yang bertambah untuk dibawa pulang. Lagian matahari masih bersisa sinarnya. Tinggal membuat bab penutup maka laporan yang sedang ku ketik ini selesai. Saat hendak mengambil pulpen pandanganku tertuju pada layar handphone yang sedari tadi ku simpan di tas. 7 panggilan tak terjawab dan 2 pesan masuk. Dari Aldo "Rena, maaf sepertinya hari ini aku tak bisa mengantarmu ke toko buku. Tenang ada yang menggantikanku dan aku yang memintanya." Satu pesan dari Kak Repal Bawel "Kamu di mana Ren? Kakak nunggu di parkiran kampusmu." Pesan itu hampir 1 jam yang lalu yang aku baru membacanya barusan. Bergegas aku bereskan semua pernak-pernik tugas pamitan pada penjaga perpustakaan. Semoga kak Repal masih ada.
Motor vespa berwarna putih tulang yang tak asing lagi. Dan pengendara berhelm merah. "Naik yuk cepetan aku lapar nih, ah kamu aku telpon gak diangkat. Udah lupa ya sama kakak sendiri? Atau berharap dijemput Aldo? Ayo naik cepetan, kita ke angkringan." Aku sempat terpaku untuk meyakinkan diriku bahwa yang dihadapanku adalah dia, sebelum naik ke motor vespa kesayangannya.
"Aku tahu kok teman-teman cerita terutama Aldo. Perempuan itu memang sedang dekat denganku, namun bukan berarti kau harus pergi? Ada hal dalam hidup yang tak perlu dipilih. Meskipun nanti aku jadi dengannya kau tetap adikku. Kamu tak akan kehilanganku, aku selalu ada di hatimu. Aku paham kok sifatmu selama ini semata karena kau tak ingin kehilanganku kan adik kecilku? Haha maklumlah aku kan kakak tertampan dan terimut di dunia ini." Ujarnya panjang lebar dan narsis seperti biasa saat sebelum ketakutanku datang.
Ya aku kini percaya perubahan, dan percaya dia tak pergi dia tetap kakakku. Kakak yang kutemukan setelah dewasa yang konyol namun mendapat tempat di hatiku.

BAPAK, PETUALANG SATU KALI PEMIMPI SEJATI

Diposting oleh Icha Tisa di 07.52 0 komentar


Dear Bloggers, netter semua. Jumpa lagi dengan saya Miss Dreamer yang penuh mimpi. Kali ini saya memposting naskah yang pernah saya kirim untuk lomba menulis cerita tentang ayah, sayang saya tak memenangkan lomba itu. Tak apa, toh naskah ini masih bisa saya share pada kalian.
Selamat membaca dan well happy Satnight all. ^_^.




“Bapak mengapa mama yang selalu mengantarku jalan-jalan keliling kota? Aku juga  mau jalan-jalan sama bapak selaki-kali boleh dong pak.” Kalimat itu beberapa terlontar dari mulut mungilku. Mengajak bapak untuk menemaniku jalan-jalan keliling kota. Bukan hal mudah mengajak bapak keliling kota. Ada saja akal bapak untuk menolak ajakanku itu mulai dari bereksperimen membuat alat-alat aneh seperti selang panjang untuk menyemprotkan pupuk cair di ladang dan sawah, hingga alat untuk melepas dan memasang lampu bohlam yang terbuat dari bambu dan kayu panjang yang kadang ditambah dengan karet untuk mengencangkan ikatan pada bohlam yang terdapat pada bambu. Dalam hal kreativitas bapak memang nomor satu, dialah ilmuwan dadakan yang jarang gagal. Namun dia bukan seorang pengelana yang dapat dengan mudah diajak berjalana-jalan.
Suatu hari aku iseng bertanya padanya “Pak apa gak bosan hidup cuma di daerah ini saja? Bapak sudah hampir setengah abad tapi tempat yang pernah dijamah bapak hanya kampung halaman bapak dan kota kecil tempat kita tinggal sekarang ini.” Bapak hanya tersenyum mendengar ocehan putri semata wayangnya. Lalu mulailah cerita yang sebenarnya terungkap. Pada satu masa sebelum mama dan bapak bertemu, bapak pernah menjadi pengelana bersama teman-temannya. Mengunjungi beberapa kota. Kata bak beliau pernah diajak mengunjungi satu kota yang aku lupa lagi namanya di sana bapak diajak menaiki satu tugu yang katanya kalau sampai di puncak bisa jadi pemimpin tapi bapak tak sampai di atas tapi aku senang bapak tak sampai di atas mungkin kalau bapak jadi pemimpin bapak lebih sibuk. Lagi pula bapak sudah menjadi seorang pemimpin untukku dan mama. Bapak juga cerita pernah berkunjung ke Banten. Dan di antara cerita perjalanan bapak yang paling kuingat adalah ceritanya ketika pertama kali berunjung ke kota Bandung. Bapak sama sekali buta tentang Bandung. Teman bapak saat itu adalah sebuah peta Bandung yang dibelinya di toko buku sesampainya di Bandung. Bapak ke Bandung bukan untuk bersuka ria melainkan mengurus dana pensiun milik yang menjadi hak kakek. Dan ternyata dalam selipan perjalanannya di Bandung, bapak mesti ke Jakarta karena ada surat yang diperlukan dari kantor pusat di Jakarta. Dan sekali lagi bapak pun buta total dengan ibukota Indonesia ini. Tapi bukan bapak rupanya bila tak meneruskan perjalanan dan urusan yang sedang dilakukannya. Dan hal yang aku kagumi dari bapak adalah bapak mampu menyelesaikan perjalanannya dan membuahkan hasil dengan keluarnya dana pensiun kakek. Tapi setelah itu bapak tak berminat lagi mengunjungi Bandung apalagi Jakarta. Untuk apa mengunjungi yang sudah pernah dikunjungi? Ujarnya. Jika kebanyakan orang senang melakukan perjalanan ke kota-kota lain lebih dari satu kali dalam hidupnya maka berbeda halnya dengan bapak. Satu kali sudah cukup, toh dalam sekali perjalanan saja sudah ada gambaran. Yang penting tujuan dari kedatangan kita ke kota tersebut terlaksana.
Bahkan bapak dapat melakukan perjalanan dadakan yang tak disangka oleh siapapun. Waktu itu aku dan seluruh keluarga besar berlibur ke Yogyakarta hanya kakek dan bapak yang tak ikut. Kebetulan saat itu juga sedang musim pendaftaran siswa baru dan kami sedang berada di salah satu sekolah menengah atas di Kota Pelajar untuk mendaftarkan kakak sepupuku. Dari ujung lapangan basket tiba-tiba kakak sepupu berteriak padaku “Dek, itu bapakmu kan?” Katanya seraya menunjuk arah lapangan basket. Awalnya kami tak terlalu percaya. Mungkin saja kakak salah melihat. Mana mungkin bapak menyusul dan untuk apa pula? Namun karena penasaran akhirnya pakde menghampiri sosok lelaki di ujung lapangan itu. Lelaki itu seperti tengah kebingungan mencari seseorang. Dan lelaki itu ternyata memang benar adalah bapak. Kami semua tak habis pikir dengan jalan pikirannya. Ternyata ide gila itu muncul begitu saja dari benak bapak ketika hampir tengah malam dan merasa kesepian di rumah sendirian bapakpun pergi ke stasiun dan membeli tiket kereta menuju ke Yogyakarta. Bapak bilang ingat bahwa bude sebelum pergi ke Yogyakarta bilang mau mendaftarkan kakak sepupu di sekolah ini. Lalu bapak pun terpikir untuk mencari sekolah yang dimaksud menggunakan jasa ojeg. Bekal informasi yang diketahui bapak hanya tentang pendaftaran kakak sepupu itu saja tidak lebih. Bahkan bapak tidak tahu di mana hotel tempat kami menginap. Bagaimana kalau bapak tersesat di kota sebesar ini? Tapi bapak tetap punya jawaban. Kalau bapak tak menemukan rombongan kalian ya sudah bapak tinggal cari penginapan atau beli tiket kereta untuk pulang kembali ke Banjar.” Belakangan ketika kami semua kembali ke kampung halaman kami di sebuah kota perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah, Banjar Patroman, bapak baru mengaku kalau perjalanan dadakan itu tidak diketahui kakek sekalipun dan bapak hanya membawa selembar pakaian ganti. Kakek tidak berpikiran macam-macam ketika mengetahui bapak tak berada di rumah. Di sangkanya bapak berangkat mengajar ke sekolah, padahal nyatanya menyusul kami ke Yogyakarta. Itu merupakan perjalanan pertama dan terakhir bapak ke Yogyakarta. Saat kami hendak berlibur kembali ke Yogyakarta bapak menolak ikut. Sekali saja sudah cukup.
Perjalanan dadakan bapak bukan hanya ke tempat yang belum pernah dikunjunginya tapi juga ke tempat yang pernah dikunjunginya dengan cara yang tak biasa. Saat itu aku masih kelas 4 SD. Kami sekeluarga berat liburan ke rumah sadar nenek di Wonosobo. Lalu aku dan mama meminta jin sekalian mengajak bapak untuk ikut berlibur bersama kami. Namun sorot mata bapak menunjukkan ketidaksetujuan. Entahlah mungkin karena saat itu aku baru selesai sakit. Sambil menunggu bapak buka mulut kami lalu mulai berbenah bersiap-siap. Tapi hal yang tak duga muncul bapak menghilang tak ada di rumah ataupun di daerah sekitar rumah. Kami kebingungan karena bapak hilang. Hingga akhirnya aku dan mama meutuskan tak jadi ikut dan mulai mencari bapak. Terpikir dibenak mama kalau saja bapak mengunjungi rumah peninggalan kakek di Ciparay Ciamis ataupun ke daerah Cisaga. Lalu kami berdua berkendara motor menyusuri jalanan mencari bapak. Ketika kami hampir tiba di rumah kami yang lain di Cisaga, kami melihat sesosok lelaki tengah berjalan sendirian memakai kaos yang biasa dikenakan bapak. Itu bapak. Bapak berjalan kaki menuju Cisaga dari Banjar yang berjarak kurang lebih 5 km. Saat kami menanyakan alasan bapak melakukan hal ini ternyata bapak hanya merasa rindu pada rumah itu lalu memutuskan ke sana dan membersihkan rumah itu lalu tertidur dan baru bangun ketika hari sudah menjelang sore. Padahal kami sekeluarga sudah panik karena kami kira bapak pergi ke mana, dan awalnya kami tak menduga bapak ternyata ‘kabur’ ke tempat itu.
Saat masih menjadi seorang pemuda bapak senang mengunjungi tempat yang banyak dikunjungi oleh turis mancanegara. Dan tempat favorit bapak adalah Pantai Pangandaran. Sepertinya ini merupakan satu-satunya tempat wisata yang dikunjungi lebih dari satu kali. Alasannya sederhana. Bapak ingin berkenalan dengan bule-bule barat tersebut. Menurut bapak berbicara dan berkenalan dengan mereka itu menyenangkan karena bapak bisa mempraktekkan langsung komunikasi menggunakan bahasa Inggris. Dibalik sosoknya ada satu impian bapak yaitu mengunjungi New York Amerika Serikat dan London Inggris. Meskipun bapak menyadari keinginannya tersebut bukan hal yang mudah untuk diwujudkan namun bapak tak pernah menyerah. Bapak selalu mencari cara untuk mendekatkannya dengan mimpinya itu. Menurut bapak meski mimpi sulit untuk diraih tapi yang penting adalah usaha untuk mewujudkannya. Pernah satu hari aku membuka kamus bahasa Inggris-Indonesia milik bapak. Dan sehelai kertas bekas bungkus rokok yang sudah menguning terjatuh dari selipan halaman. Kucermati dan tertulis sebuah alamat rumah serta negara tempat rumah itu berada. United Kingdom. Penasaran kutanyakan pada bapak milik siapa alamat itu karena tulisan tangan alamat itu berbeda dengan tulisan bapak. Bapak lalu bercerita riwayat alamat pada secarik bungkus rokok itu. Waktu itu sekitar akhir tahun 1990an bapak muda diajak kawannya bermain ke Pantai Pangandaran, dan terjadilah pertemuan yang tak sengaja antara bapak dengan seorang bule bernama Mr. Smith yang berasal dari London Inggris. Mereka berdua sempat bercerita bersama, dan bapak mengungkapkan keinginannya untuk mengunjungi negara tempat kelahiran Mr. Smith. Bule itu merasa tersanjung saat bapak memuji negara tempat tinggalnya dan ingin berkunjung ke sana. Lalu sebelum mereka berpisah Mr.Smith memberikan alamat rumahnya pada bapak. Dia berpesan agar bapak mengunjungi rumahnya saat ke Inggris. Namun sayang mereka tak pernah bertemu lagi dan bapak pun tak sampai menginjakkan kakinya di Inggris hingga kematian menjemputnya.
Aku sering meminta bapak bercerita, semacam dongeng pengantar tidur. Selain cerita-cerita perjalanannya bapak juga dapat menceritakan kisah dari negara lagi dengan hebat. Masih ku ingat saat bapak menceritakan kisah si Abu Nawas, Kisah Seribu Satu Malam. Cerita itu memang bagus namun lebih bagus legi bila bapak yang menceritakannnya. Bapak memang tak pernah mengunjungi Baghdad tapi mendengarkan bapak bercerita seolah bapak sudah pernah menjamah setiap sudut kota itu. Sungguh menakjubkan. Perjalanan-perjalanan fantasi yang kulewati melalui cerita yang keluar dari mulut bapak. Bahkan tokoh Si Kabayan pun dapat dimodifikasi oleh bapak. Bukan Kabayan beristri Iteung yang kocak. Ada Kabayan yang alim, pintar, tampan dan kocak tercipta dalam dunia fantasi yang diciptakan oleh Bapak. Ketika aku bertanya pada bapak, mengapa Kabayannya berbeda dengan yang pernah ku baca di buku, dengan mudah bapak menjawabnya. Biar kamu tak bosan dengan Kabayan, buat apa menceritakan yang sudah dibaca lebih baik menceritkan hal baru yang bisa memotivasi. Hanya dalam dunia fantasi bapak, Kabayan berjalan- jalan sampai ke Timur Tengah bahkan ke London.
Dalam kehidupan nyata aku memang jarang sekali berjalan-jalan bersama bapak, namun kami sering berkelanan bersama di dunia fantasi. Menciptakan imajinasi yang mengasyikkan bagiku yang saat itu masih SD. Tak perlu membawa peralatan, tak butuh uang banyak pula. Cukup duduk manis di samping bapak maka akan terlontarlah dunia fantasi itu. Dunia yang tak dimiliki anak-anak lain. Hanya milikku dan diciptakan bapak khusus untukku, putri semata wayangnya.
Ya, meskipun bapak senang melakukan perjalanan dadakan seorang diri dan buta alamat bukan berarti bapak membebaskanku bertualang di alam bebas. Dulu saat bapak masih hidup aku sering menganggap bapak terlalu berlebihan mengkhawatirkanku. Bahkan untuk sekadar bersepeda ke sekolah pun dilarang keras. Jajan ke warung depan rumah saja bapak selalu mengawasi dari luar gerbang rumah. Seolah akan terjadi sesuatu hal jika aku tidak diawasinya. Aku yang masih kecil saat itu sering merasa kesal. Disaat anak-anak seusiaku bebas bersepeda sesuka hati dan bermain hujan-huajanan sepuas hati menyambut datangnya hujan aku hanya terdiam dan termenung di balik kaca jendela rumah melihat mereka. Aku juga ingin bebas melakukan segala hal, bahkan perjalanan mengejutkan seperti yang pernah dilakukan bapak. Namun komentar bapak hanyalah “bapak tidak ingin kamu sakit nak, hingga kamu tidak bisa melakukan lebih dari apa yang pernah bapak perbuat dari perjalanan itu.” Aku yang masih kecil tidak mengerti dan hanya bisa mencoba duduk manis dan menggerutu dalam hati.
Sekarang bapak telah meninggalkanku selama-lamanya. Sejak aku duduk di bangku kelas 5 Sekolah Dasar. Dan kini aku baru menyelesaikan 3 tahun masa belajarku di SMA. Bapak memang tidak berhasil menginjakkan kaki di Inggris, di Bandara Heathrow. Pemilik alamat rumah di bungkus rokok itupun mungkin sudah meninggalkan dunia ini juga sama seperti bapak. Dan lelaki sang petualang dan pemberani itu telah kembali ke sisi Alloh SWT. Tapi tersemat satu janji dan cita-cita di hatiku untuk pergi ke London Inggris menghirup udaranya, dan mewakili bapak menginjakkan kaki di sana. Meski sampai kini aku belum tahu kapan momen itu akan tiba dan menghampiri peruntunganku.
Jasadnya memang telah menyatu dengan tanah, jiwanya sudah kembali pada yang menciptakan. Tapi ada yang masih membekas dan terasa. Nasihat dan semangatnya. Kini aku memang bebas untuk bertualang di alam bebas, menjelajah bersepeda sesuka hati. Namun nasihat sewaktu kecil dari bapak tetap tersemat di hatiku dan terpatri indah. Meski aku tak terlalu suka mengenang sosok bapak. Bukan karena bapak tak baik tapi aku tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Larut dalam kenangan yang tak mungkin ku kembalikan. Masa-masa indah yang tinggal angan. Tak akan pernah kembali lagi. Aku lebih suka mengingat impiannya, karena berkubang dalam kesedihan tak ada gunanya sama sekali. Bukan yang diinginkan bapak. Aku tak ingin bapak yang sudah di alam sana tak tenang karena putri semata wayangnya menangis terus mengenangnya. Berpikir rasional dan menyayangi sosoknya dam cita-cita yang pernah dia ucapkan lebih rasional.
Terima kasih bapak telah membuatku berani bermimpi untuk menantang dunia dan mengarungi kerasnya hidup ini. Ku rengkuh impianmu dan akan kuusahakan cita-citamu yang kini telah menjadi cita-citaku. Kini putri kecilmu telah menjadi remaja yang siap menjadi petualang selanjutnya. Bapak kamu adalah penginspirasiku untuk menjadi seorang yang pemberani dan juga tangguh menjalani hidup.

[+/-]

MAMA, MY INSPIRATION

[+/-]

PULANG ( EVERYTHING IS ALRIGHT )

[+/-]

DUA KOTA DAN DILEMA (Part 1)

[+/-]

PERUBAHAN

[+/-]

BAPAK, PETUALANG SATU KALI PEMIMPI SEJATI

 

Menggapai Mimpi Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos